BAB
X
(Pengertian,
Konsepsi, Pengukuran dan Penerapannya di Lembaga pendidikan)
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Salah satu
pertanyaan terpenting dalam dalam sebuah aktivitas organisasi adalah mengapa
ada organisasi yang sukses, sementara ada organisasi yang gagal atau tidak
sukses. Jawaban dari pertanyaan ini akan merujuk pada satu persoalan penting
yang disebut dengan kinerja organisasi (organizational performance).
Kinerja organisasi menjadi persoalan penting dalam rangka menjadikan sebuah
organisasi sukses mencapai tujuan. Konsep ini kemudian sering rancu dengan
konsep lain yaitu produktivitas.
Istilah productivity
(produktivitas) dan performance (kinerja) seringkali digunakan dalam
literatur akademis maupun dalam lingkungan komersial dimana keduanya sangat
jarang mendapatkan penjelasan yang cukup lengkap dan membuat kita mengerti. Dan
bahkan kedua istilah tersebut sering membingungkan karena keduanya seringkali
dapat digunakan secara bergantian dan dapat dipertukarkan satu dengan yang
lain, asalkan digunakan bersamaan dengan istilah efisiensi, efektifitas dan
profitabilitas.[1]
Memahami kedua
materi produktivitas dan performa/kinerja organisasi ini sangat penting bagi
setiap pemimpin, terutama dalam hal memahami cara pengukurannya. Untuk mencapai
kesuksesan diperlukan sebuah upaya berkesinambungan dimana organisasi harus
selalu melakukan evaluasi dengan pengukuran-pengukuran didasarkan pada tujuan
dan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, agar selalu tahu sampai dimana
saat ini kondisi organisasi jika dihadapkan pada tujuan yang hendak dicapai.
Jika dari hasil penilaian kita masih jauh dari tujuan, maka diperlukan strategi
untuk meningkatkan kinerja guna mencapai tujuan tersebut.
Makalah ini
ditulis dalam rangka untuk lebih mempermudah memahami kedua konsep
produktivitas dan kinerja organisasi tersebut, terkait dengan pengertian,
konsep dasar dan hubungan antara keduanya agar tidak menimbulkan kerancuan.
Selanjutnya makalah ini akan lebih memfokuskan pada pengukuran kinerja (performance
measurement), mencakup aspek apa saja yang diukur, dan bagaimana tahapannya
dalam organisasi. Dan terakhir akan dibahas bagian penting terkait lembaga
pendidikan seperti bagaimana penerapan konsep tersebut utamanya dalam
organisasi pendidikan, termasuk juga dalam penetapan indikator kinerja.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang disampaikan, maka makalah ini bermaksud akan membahas
tentang:
a.
Apakah produktivitas dan apakah kinerja organisasi itu?
b.
Bagaimanakah hubungan keduanya dalam literatur akademis?
c.
Bagaimana mengukur kinerja organisasi dan tahapan seperti apa yang
harus dilaksanakan?
d.
Bagaimana penerapan pengukuran kinerja organisasi di lembaga
pendidikan?
3.
Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan ini antara lain untuk
a.
Mengetahui pengertian produktivitas dan kinerja organisasi secara
lebih utuh
b.
Mengetahui bagaimana hubungan antara produktifitas dan kinerja
organisasi
c.
Mengetahui pengukuran kinerja organisasi termasuk tahapannya
seperti apa
d.
Mengetahui penerapan pengukuran kinerja dilembaga pendidikan
B.
PEMBAHASAN
1.
Konsep Produktivitas (Productivity) dan Kinerja (Performance)
Organisasi
a.
Pengertian dan Konsep Dasar Produktivitas (Productivity)
Pada awalnya,
konsep produktifitas, muncul dalam upaya mengukur dan meningkatkan
produktivitas, tidak untuk mendefinisikan, sehingga kemudian konsep ini lahir rumus
yang biasa dikenal, Productivity = output/input[2],
dimana output adalah hasil yang didapatkan seperti misalnya (produk A, produk
B) dan input adalah sumberdaya yang digunakan seperti misalnya tenaga kerja,
modal, material dan energi. Disatu sisi, produktivitas berkaitan dengan
pemanfaatan/penggunaan sumberdaya (input) , disisi lain produktivitas berkaitan
dengan penciptaan nilai (output). Dengan demikian rumus tersebut menjadi
pengertian sekaligus cara mengukur produktivitas
Prinsipnya
adalah setiap masukan bila dikuantifikasikan dapat digunakan sebagai faktor
penyebut (pembagi) pada nisbah produktivitas. Atas dasar itulah orang dapat
berbicara tentang produktivitas lahan, modal tenaga kerja atau dari berbagai
subkategori lain masing-masing faktor produksi. Namun yang lazin digunakan
sekarang ini adalah tenaga kerja karena dianggap merupakan biaya terbesar pada
pengadaan produk serta dianggap lebih mudah dihitung daripada masukan dari
faktor lain.[3]
Kesalahan umum
yang sering terjadi dalam memahami produktivitas adalah menghubungkan adanya
produktivitas dengan jumlah pelayanan atau jumlah produk yang telah dihasilkan,
dimana terjadi pemikiran bahwa ketika jumlah produk meningkat maka telah terjadi peningkatan produktifitas, atau
dengan kata lain organisasi dikatakan produktif jika mencetak lebih banyak
produk. Tentu ini merupakan kesalahan besar. Jika merujuk pada pengertian atau rumus di
atas, maka kemungkinan produktivitas akan banyak. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Misterek[4]
(dalam Rutkauskas & Paulaviciene[5];
Tangen[6]), bahwa
kenaikan tingkat produktivitas pada dasarnya disebabkan oleh lima hubungan input
dan output yang berbeda, antara lain:
1.
Output
dan input meningkat, tetapi kenaikan input lebih rendah dari kenaikan output
(pertumbuhan yang dikelola dengan baik),
2.
Output
meningkat sementara input tetap (bekerja lebih cerdas),
3.
Output
meningkat sementara input menurun (ideal),
4.
Output
sama sementara inputnya menurun,
5.
Output
menurun, sementara input juga menurun tetapi tingkat penurunan lebih besar dari
output.
Jadi,
produktivitas tidak hanya berkaitan dengan jumlah output yang banyak, tetapi
juga melihat besar kecilnya input. Kelima unsur perbandingan tersebut,
selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun strategi peningkatan
produksi, sebagaimana yang disampaikan Ross[7],
antara lain:
1.
Menerapkan
program reduksi biaya, yaitu upaya untuk menghasilkan output dengan kuatitas
yang sama tetapi input yang kita gunakan menjadi lebih sedikit.
2.
Mengelola
pertumbuhan, yaitu meningkatkan kuatitas output lebih besar, dengan jumlah
input yang ditingkatkan juga tetapi lebih kecil peningkatannya
3.
Bekerja
lebih tangkas, yaitu berusaha meningkatkan produktivitas lebih besar tetapi
dengan menggunakan input yang sama, dengan cara membita orang untuk bekerja
lebih tangkas.
4.
Mengurangi
aktivitas, yaitu mengurangi jumlah output dengan cara membuang input-input yang
tidak perlu untuk kepentingan efisiensi.
5.
Bekerja
lebih efektif, yaitu upaya untuk meningkatkan output tetapi mengurangi penggunaan input.
Dari kelima
kemungkinan di atas, ada satu kemungkinan ideal yang sering dipakai dalam
menilai tingkat produktivitas adalah ketika jumlah output tinggi atau besar
tetapi jumlah input rendah atau sedikit. Konsep ideal ini kemudian dijadikan
definisi umum, Sebagaimana yang dikutip Sinungan[8]
dalam bukunya bahwa dalam doktrin pada konferensi Oslo (1984) tercantum
definisi umum produktivitas semesta, yaitu”
“produktivitas adalah suatu konsep yang bersifat universal yang
bertujuan untuk menyediakan lebih banyak barang dan jasa untuk lebih banyak
manusia, dengan menggunakan sumber-sumber riil yang makin sedikit.”
Pengertian di
atas, pada intinya juga menyiratkan isi dari rumus produktivitas yaitu rasio
antara output dan input. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa produktivitas
secara tunggal diterima dengan pengertiannya sesuai dengan rumus pengukurannya,
yaitu rasio antara output dengan input.
Meskipun
produktivitas, dikenal dengan rumus tunggalnya (rasio output dan input), namun
perlu dipahami bahwa produktivitas merupakan konsep yang relatif. Relativitas
ini dapat dilihat pada beberapa hal. Pertama, produktivitas akan sangat
tergantung pada variasi-variasi yang dimiliki kompetitor atau standar lain pada
satu waktu dan dapat berubah sepanjang waktu.[9] Sebagaimana
yang yang disampaikan Liang Gie[10]
bahwa Arti produktivitas menunjukkan kemampuan pada orang atau peralatan untuk
mewujudkan hasil yang menurut sub unsur jumlah (kuantitas) lebih banyak
ketimbang apa yang telah lazim di lingkungan sekitar atau masyarakat. Seperti
misalnya dalam satu tahun tertentu seorang penyair dikatakan produktif karena
memiliki lebih banyak karya dibanding dengan penyair yang lain dalam satu waktu
tertentu.
Kedua, konsep produktivitas sangat tergantung pada konteks dimana kata
tersebut digunakan. Dalam studinya, Tangen[11]
mendapati bahwa istilah produktivitas merupakan istilah multidimensional yang
berarti bahwa sangat tergantung pada konteks dimana kata tersebut digunakan.
Seperti halnya yang disampaikan Ghobadian & Husband[12], menyatakan
bahwa terdapat kebingungan dalam mendefinisikan produktivitas serta bagaimana
metode pengukuran produktivitas tersebut. Kebingungan ini barangkali disebabkan
karena adanya fakta bahwa kata tersebut menarik banyak orang dengan berbagai background
untuk menggunakannnya dengan perspektif /sudut pandang yang berbeda-beda.
Selanjutnya Ghobadian & Husband[13]
Menyimpulkan bahwa area yang digunakan dalam penggunaan kata produktivitas
dimaksudkan antara lain untuk menggantikan ‘selesainya pekerjaan’, pengurangan
biaya, termanfaatkannya sumberdaya, efisiensi sumberdaya atau efisiensi
produksi. Dalam pengertian yang lebih luas Ghobadian and Husband[14]
Menyimpulkan bahwa definisi produktivitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kategori:
1.
The
technological concept: hubungan
antara rasio output terhadap input yang digunakan dalam sebuah produksi.
2.
The
engineering concept: hubungan antara output aktual
dengan output potensial dalam sebuah proses
3.
The
economist concept: alokasi sumberdaya yang efisien
Dari paparan di
atas, berkaitan dengan pengertian tunggal yang disepakati para ahli bahwa
produktivitas merupakan rasio antara output dan input, maka selanjutnya penulis
memahami bahwa konsep produktivitas ini akan sangat mudah jika kita
mengaitkannya konsep organisasi sebagai sebuah sistem, dimana dalam sistem
tersebut tiga aspek pokok yaitu input, proses dan output, dimana dalam kegiatan
organisasi apapun, dalam mencapai tujuan akan terdapat usaha mentransformasi
input menjadi output. Dengan memahami organisasi sebagai sebuah sistem, maka
pemahaman akan lebih mudah utamanya dalam memahami pengertian dan rumus
utamanya. Dalam transformasi tersebut dikatakan produktif jika output dan input
memiliki perbandingan ideal seperti yang disampaian Misterek sebelumnya. Untuk
memahami sistem ini secara lebih rinci, Tangen[15]
menggambarkannya sebagaimana dalam gambar 1.
Gambar
1
Gambar proses transformasi input menjadi output dan model
produktivitas
Sumber: Stefan
Tangen, Demystifying productivity and performance, (International Journal of
Productivity and Performance Management, 2005), 54 (1), pp. 34-46, hlm. 38
Berdasarkan paparan
dan gambar di atas, maka terkait dengan pengertian dan konsep dasar
produktivitas, ada tiga hal yang dapat dipahami. Pertama, produktivitas
adalah rasio antara output dan input organisasi (output/input), dimana sebuah
organisasi dikatakan produktif jika memenuhi kelima unsur perbandingan output dengan
input sebagaimana yang telah disampaikan Misterek sebelumnya.
Kedua yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa karena produktivitas
sangat relatif, maka sebuah organisasi dikatakan produktif atau tidaknya sangat
tergantung pada kondisi lingkungannya juga, dalam artian meskipun sebuah
organisasi mengatakan bahwa dirinya memiliki produktifitas yang baik tetapi
karena seluruh kompetitor memiliki produktifitas yang lebih baik lagi, maka
organisasi tersebut bisa dikatakan belum produktif di mata masyarakat.
Ketiga, karena konsep produktivitas ini sangat berkaitan dengan rasio output
dan input, maka penulis berpendapat bahwa konsep produktivitas ini hanya
berhubungan dengan aspek kuantitas saja, tidak mencakup aspek kualitas. Hanya
mengkuantitatifkan output dan input kemudian membandingkannya, dalam rangka
mencapai tujuan organisasi yang efektif dan efisien. Jika demikian, tentunya
dalam organisasi diperlukan pengukuran lain yang lebih luas yang juga bisa
mencakup aspek kualitas, atau jika dalam organisasi yang berorientasi profit,
diperlukan juga pengukuran yang terkait dengan kegiatan finansial. Dengan
demikian kita perlu memahami konsep yang lebih luas yang dikenal dengan istilah
performance (kinerja).
b.
Pengertian dan Konsep Dasar Kinerja Organisasi (Organizational
performance)
Permasalahan
pertama dalam memahami konsep kinerja organisasi adalah masalah definisi. Tidak
berbeda dengan konsep produktivitas, Organizational performance (kinerja
organisasi) juga menderita tidak hanya dalam masalah definisi tetapi juga
masalah konseptual.[16] Kedua
kata tersebut (produktivitas dan kinerja), dianggap bisa saling menggantikan,
sehingga seringkali kata produktivitas bisa diganti dengan kata kinerja. Berdasarkan
pendapat Tangen[17],
konsep kinerja merupakan istilah yang lebih luas daripada produktivitas yang
memayungi seluruh aspek ekonomi dan operasional. Didalamnya akan termasuk
seluruh tujuan dari kompetisi dan kesempurnaan dalam organisai seperti biaya,
fleksibilitas, kecepatan, dan kualitas. Sehingga kinerja dapat dideskripsikan
sebagai sebuah payung dari istilah-istilah yang bertujuan untuk kesuksesan
organisasi dan kegiatannya.
Berdasarkan
studi yang dilakukan Wang[18],
tidak ada kesepakatan definisi dari kinerja organisasi (organizational
performance) karena adanya berbagai macam jenis organisasi dengan situasi
yang berbeda-beda, sehingga mendefiniskan kinerja organisasi tanpa melibatkan
konteks organisasi akan menjemukan. Oleh karenanya definisi kinerja terkesan
bebas dan sangat tergantung pada lapangan studi yang dipelajari. Meski
demikian, menurut Wang[19]
untuk memahami kinerja organisasi, terdapat dua model yang bisa dijadikan
patokan. Pertama, model rasional-tujuan (the rational-goal model), yang
mengartikan kinerja organisasi adalah tingkat dimana tujuan organisasi bisa
dicapai. Dengan demikian kinerja organisasi dapat diukur sampai dimana tujuan
organisasi bisa dicapai. Kedua adalah model sistem sumberdaya (the system
resources model) yang mendefinisikan kinerja organsisasi melalui
keberlangsungan hidup organisasi melalui interaksi aktif dengan lingkungannya
dengan cara mencari sumberdaya yang bernilai. Dalam hal ini survivability
(kelangsungan hidup) organisasi menjadi indikator kritis/kunci dalam kinerja
organisasi. kemampuan untuk mendapatkan sumberdaya yang bernilai menjadi kunci
penting dalam upaya menjaga kelangsungan hidup organisasi.
Dalam kamus Bahasa
Indonesia, kinerja di artikan sebagai sesuatu yang dicapai atau prestasi yang
diperlihatkan atau juga kemampuan kerja[20]. Dari
pengertian kamus Bahasa Indonesia, ditambah dengan berbagai uraian pendapat
para ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa kinerja organisasi adalah
tingkat kemampuan organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan tingkat kemampuan
organisasi dalam upaya menjaga keberlangsungan organisasi melalui sumberdaya
yang bernilai. Dari pengertian tersebut maka kinerja organisasi merujuk pada
kesuksesan organisasi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang,
sehingga diperlukan pemahaman terkait dengan faktor apa saja yang mempengaruhi
kinerja organisasi, kendala-kendala apa yang bisa menghambat kesuksesan
organisasi serta upaya apa yang perlu dilakukan untuk menghasilkan kinerja
organisasi yang tinggi.
Permasalahan
selanjutnya terkait dengan kinerja organisasi adala faktor-faktor apa saja yang
menentukan sebuah kinerja organisasi. berdasarkan pendapat Hansen dan
Wernerfelt (1989), yang dikutip oleh Abu Jarad, et.al.[21],
ada dua pendapat terkait faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja
organisasi. pertama, faktor ekonomi, yang menekankan pada pentingnya
faktor eksternal (pasar) yang menentukan kinerja organisasi, antara lain:
- Karakteristik industri dimana organisasi bergerak
- Posisi organisasi dihubungkan dengan kompetitornya
- Kualitas sumberdaya dari perusahaan
Sedangkan kedua,
faktor model organisasi yang berhubungan dengan paradigma perilaku dan sosial
seperti misalnya kebijakan sumberdaya manusia, budaya organisasi dan gaya
kepemimpinan. Seperti penelitian Chien (2004) yang dikutip oleh Abu Jarad, et.al.,[22] menemukan
bahwa terdapat lima faktor yang menentukan kinerja organisasi, antara lain:
- Gaya kepemimpinan dan lingkungan
- Budaya organisasi
- Desain pekerjaan
- Model motivasi
- Kebijakan sumberdaya manusia
Untuk lebih
memahami faktor-faktor di atas, kita merujuk pendapat Owen, et.al[23]
menegaskan bahwa untuk kesuksesan jangka panjang sebuah organisasi, dibutuhkan
adanya kemampuan organisasi untuk mengembangkan dan mempertahankan sebuah
budaya yang mampu menyampaikan produk dan jasanya sepanjang waktu. Dan
kemampuan ini dapat dipelajari. Dalam upaya untuk mengembangkan budaya
tersebut, Owen telah mengidentifikasi halangan-halangan yang menghambat
kesuksesan organisasi dalam rangka mewujudkan kinerja yang tinggi, antara lain:
1.
Seringkali
pemimpin senior dari sebuah organisasi tidak memahami pasar apa yang harus
dipenuhi organisasi. hal ini akan berdampak pada ketidakcocokan visi, misi dan
strategi yang ditetapkan. Bahkan sering juga terjadi meskipun pimpinan paham,
tetapi kemungkinan mereka gagal dalam menterjemahkan visi, misi dan nilai-nilai
ke dalam strategi dan proses yang menjadikan mereka bisa sukses. Akibatnya
budaya, sistem dan infrastuktur yang dimiliki tidak sejalan dengan realitas
pasar yang ada.
2.
Seringkali
perilaku-perilaku yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kesuksesan strategi
bisnis tidak sejalan dengan kebutuhan konsumen dan pasar. Misalnya konsumen
atau pasar menghendaki adanya pelayanan yang cepat dan tidak berbelit-belit.
Tetapi struktur organisasi yang diterapkan terlalu ketat dan prosedur yang
terlalu panjang.
3.
Sistem
dan proses organisasi seringkali gagal dalam mendukung visi dan strategi
organisasi. akibatnya fokus dan cara pengukuran menjadi salah. Misalnya sistem
manajemen kinerja didasarkan pada pengukuran yang umum, yang hanya memberikan
sedikit informasi sehingga tidak dapat akuntable dalam menentukan perilaku apa
saja yang harusnya dibutuhkan dalam merespon kebutuhan konsumen.
Budaya akan
mengarahkan pada persepsi mengenai apa yang penting (nilai), apa yang mungkin
(kesempatan), dan apa yang riil (realitas). Seperangkat kepercayaan ini akan
diekspresikan melalu rutinitas dan menjai norma dalam organisasi dan dikuatkan
dengan adanya reward dan punishment yang diberlakukan dalam
organisasi.
Selanjutnya
owen et.al.[24]
menjelaskan bahwa terdapat lima elemen inti jika ingin membawa organisasi
pada kinerja yang tinggi, yang secara ringkas digambarkan pada gambar 2, yaitu:
1.
Persepsi
pemimpin senior terhadap pasar. Pasar berubah sepanjang waktu karena
faktor-faktor seperti kompetisi, perubahan teknologi dan kondisi ekonomi.
Organisasi yang sukses akan mampau mengantisipasi dan beradaptasi dengan
perubahan tersebut.
2.
Sharing
visi, misi, nilai-nilai dan strategi yang sejalan dengan realitas pasar. Dalam
hal ini visi, misi, nilai dan strategi yang ditetapkan harus diberitahukan
kepada pegawai, termasuk mengenai apa saja yang penting, pada saat apa akan
diberikan reward dan pada saat apa akan diberikan punishment. Dan
yang sangat penting adalah siapa yang berhak mengambil keputusan dalam
organisasi mulai dari atas sampai ke bawah terkait inovasi dan apa saja yang
boleh dilakukan.
3.
Praktik
kepemimpinan yang sejalan dengan visi, misi, nilai-nilai dan strategi yang
ditetapkan. Dalam hal ini dibutuhkan perilaku pemimpin yang efektif antara
lain: meyakinkan adanya harapan yang pasti, mendorong adanya rasa memiliki,
melibatkan pegawai dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, menekankan
pada pentingnya kualitas, mendorong adanya konsistensi fokus pada kebutuhan
konsumen, mendorong dan memberikan reward terhadap pengembangan kemampuan dan
pembelajaran.
4.
Infrastuktur
yang mendukung penguatan visi, misi, nilai-nilai dan strategi. Yang dimaksud
dengan infrastruktur di sini adalah sebuah kebijakan, prosedur dan mekanisme
dalam organisasi yang diambil dalam rangka mengawasi dan menyediakan timbal
balik alam sistem organisasi. infrastruktur ini harus meyakinkan bahwa konsumen
telah dilayani oleh orang yang tepat, menggunakan teknologi yang tepat. Sistem
ini juga harus menyediakan data mengenai sebaik apa kondisi organisasi.
5.
Perilaku
pegawai yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Yang diperlukan disini adalah
menempatkan orang yang tepat pada peranan yang tepat serta manajer yang tepat,
sehingga dalam hal ini diperlukan identifikasi kekuatan individu dari pegawai
terlebih dahulu.
Gambar
2:
Sustainable
High Performance Cultural Model
Sumber: Keith Owen, Ron Mundy, Will Guild and Robert Guild, Creating
and sustaining the high performance organization, (Managing Service Quality,
2001), 11 (1), pp. 10-21, hlm. 12
Gambar 2 tersebut
menunjukkan bahwa untuk bisa mencapai kinerja yang tinggi dalam sebuah
organisasi, harus dimulai dari awal, yaitu dari pemimpin senior. Pemimpin
senior merupakan cikal bakal terbentuknya kinerja yang tinggi karena hal ini
menyangkut pemahaman mereka tentang organisasi dan pasar, sehingga mereka bisa
merumuskan visi, misi, nilai dan strategi yang tepat, dalam rangka membentuk
sikap dan perilaku bawahannya. Untuk dapat melaksanakan model di atas pemimpin
senior harus memahami gap-gap yang terjadi, sehingga gap tersebut bisa
dijembatani dengan manajemen yang baik.
Dari paparan
terkait kinerja organisasi di atas, maka ada beberapa hal yang bisa dipahami,
yaitu pertama performance atau kinerja organisasi adalah tingkat
kemampuan organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan tingkat kemampuan
organisasi dalam upaya menjaga keberlangsungan organisasi melalui sumberdaya
yang bernilai. Kedua, Dalam upaya menjaga tujuan serta menjaga
keberlangsungan organisasi tersebut, maka pemimpin harus memahami faktor-faktor
apa saja yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi, utamanya yang menjadi
faktor penghambat kinerja organisasi, serta memahami elemen-elemen inti apa
yang harus ditekankan dalam upaya membangun budaya berkinerja tinggi.
2.
Hubungan antara Produktivitas dan Kinerja Organisasi
Untuk bisa
lebih memahami hubungan dari kedua istilah, poduktivitas dan kinerja maka akan
lebih mudah jika berangkat dari pengukuran keduanya. Kita merujuk pada apa yang
disampaikan Wade & Recardo[25]
bahwa terdapat lima kategori dari key performance measure
adalah:
1.
Financial perspective. Dalam hal ini cashflow merupakan hal
yang utama dalam sebuah perusahaan. Banyak perusahaan lebih fokus dalam hal
mempertahankan pelanggan mereka daripada berfokus pada laba.
2.
Customer perspective. Mengakuisisi dan mempertahankan konsumen
merupakan kunci dalam menghasilkan uang. Misalnya MC Donal dengan pelayanan
cepatnya. Dengan mengetahui informasi mengenai konsumen dan kebutuhan mereka
akan membuat perusahaan akan lebih bisa mempersiapkan bagaimana cara
meningkatkan kepuasan mereka.
3.
Operations perspective. Penghitungan dalam operasional ini biasanya
dikenal dengan istilah produktivitas, yang pengukurannya difokuskan pada
menghitung rasio output/input. yaitu menghitung kuota produksi dan penggunaan
mesin. Sekarang kunci pengukuran diletakkan pada kecepatan. Dibutuhkan
peningkatan kecepatan dalam produksi sementara bagian-bagian dalam produksi
berkurang. Hal ini dapat dipenuhi dengan cara mengurangi pekerjaan-pekerjaan
yang tidak memberikan nilai tambah, pemberdayaan pegawai yang biasanya
dikerjakan manager dan mengembangkan sistem pengukuran kinerja yang extensive.
4.
Organizational perspective. Pengukuran ini pada awalnya berfokus pada
kepuasan pekerja/pegawai. Tetapi hasil dari penelitian saat ini mengindikasikan
bahwa pegawai akan termotivasi oleh adanya kewenangan untuk mengontrol
pekerjaan mereka sendiri, memiliki kewenangan yang besar terhadap konsumen,
memiliki sumberdaya yang cukup dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Dengan
demikian fokusnya telah bergeser dari memperkerjakan menjadi memanajerialkan
untuk sebuah organisasi yang efektif.
Dari paparan di
atas, dapat kita ketahui bahwa konsep pengukuran produktivitas ada dalam poin
3, yaitu dalam perspektif operasional. Hal ini menunjukkan bahwa konsep kinerja
(performance) lebih luas dibandingkan dengan konsep produktivitas.
Konsep produktivitas merupakan salah satu bagian pengukuran dalam mengukur
kinerja (performance) sebuah organisasi.
Selain dari
Wade and Ricardo, Tangen[26]
dalam jurnalnya membuat sebuah model yang dia sebut dengan triple P-Model
(sebagaimana dalam gambar 3), yaitu sebuah model yang menggambarkan
hubungan antara produktivitas, profitabilitas dan kinerja.
Gambar 3:
The Tripe P Model
Sumber : Stefan Tangen, Demystifying productivity and performance,
(International Journal of Productivity and Performance Management, 2005), 54 (1), pp. 34-46, hlm. 43
Dari model
tersebut, beliau menjelaskan bahwa produktivitas merupakan inti utama dari
model tersebut, yang definisi operasionalnya adalah hubungan antara output
(produk yang diproduksi berdasarkan spesifikasi yang telah ditetapkan) dan
input (yaitu seluruh sumberdaya yang digunakan dalam proses transformasi). Profitability
juga merupakan konsep hubungan output dan input namun dari sisi finansial.
Sedangkan performance (kinerja) merupakan konsep luas yang memayung
istilah-istilah kesempurnaan, termasuk didalamnya profitabilitas, produktivitas
dan juga faktor-faktor non-finansial seperti kualitas, kecepatan, penyampaian
jasa serta fleksibilitas. Dalam model tersebut, terdapat dua istilah yang
melingkupi ketiga istilah tersebut, yaitu efektifitas dan efisiensi,
dimana efektifitas merepresentasikan
tingkat hasil yang diharapkan untuk dicapai, sedangkan efisiensi
merepresentasikan bagaimana penggunaan sumberdaya yang digunakan dalam proses
transformasi input menjadi output tersebut.[27]
Dari uraian di
atas, dapat dipahami kini bahwa membicarakan kinerja dan pengukurannya akan
mencakup pembahasan yang lebih luas dibanding dengan produktivitas.
Produktivitas merupakan bagian dari kinerja, disamping masalah finasial, sehingga
dalam hal selanjutnya penulis akan memaparkan lebih lanjut mengenai pengukuran
kinerja, utamanya nanti dalam aplikasinya di lembaga pendidikan yaitu perguruan
tinggi.
3.
Pengukuran Kinerja Organisasi (Performance Measurement)
a.
Memahami Sekilas Tentang Aspek yang Diukur dalam Pengukuran Kinerja
Organisasi
Dari berbagai studi mengenai penelitian
terdahulu terkait kinerja organisasi, Abu Jarad et.al.[28],
menyimpulkan bahwa kinerja organisasi dapat dikategorikan dalam dua kategori
yaitu Financial performance (kinerja finansial) dan non financial
performance (kinerja non finansial). Financial performance
pada dasarnnya merupakan pengukuran kinerja tradisional yang berkembang pada
tahun 1800 –an, dimana pengelolaan usaha masih sangat tradisional dan
perkembangan teknologi belum sepesat ini[29]. Kinerja
perusahaan secara luas dapat diukur melalui kesukseksan finansial (keuangan)
dari sebuah organisasi. Penekanan pada
sektor keuangan ini kebanyakan dilakukan pada organisasi yang berorientasi laba
yang dapat dilihat dari top-line (misalnya penjualan) dan pada bottom-line
(yaitu profitabilitas). Penghitungan laba yang umum digunakan adalah profit
margin, return on asset (ROA), return on equity (ROE), return on
investment (ROI), dan return on sales (ROS).[30]
Setelah
terjadinya perubahan lingkungan dan persaingan usaha yang semakin luas,
perhitungan kinerja finansial mendapatkan banyak kritikan karena beberapa hal
antara lain: kurang relevan, sistem pengukurannya cenderung melaporkan kinerja
masa lalu, berorientasi jangka pendek, kurang fleksibel, tidak memicu perbaikan
dan sering rancu pada aspek biaya.[31]
Kritikan ini memunculkan pentingnya pengukuran aspek lain dari kinerja yaitu di
sisi non-Financial performance, dimana pengukuran pengukuran
kinerja organisasi dapat dilihat dari kesuksesan dalam pengelolaan intern organisasi.
yang termasuk dalam pengukuran ini misalnya, kepuasan kerja, komitmen
organisasi, pergantian karyawan (employee turnover)[32]. Meskipun
terdapat pengukuran berbasis finansial, tetapi menurut Kaplan dan Norton[33],
saat ini banyak organisasi yang berfokus pada pengleolaan aset intangible
(misalnya, customer relationship, inovasi produk dan jasa, proses
operasi yang berbasis pada kualitas yang tinggi dan responsifitas, atau yang
disebut dengan aspek non-finansial), tidak lagi berbasis pada pengelolaan aset tangible
(seperti aset tetap dan persediaan barang dan jasa), yang dikenal dengan
istilah aspek finansial.
Setelah adanya
kritikan mengenai pengukuran kinerja berbasis finansial, dan munculnya aspek
pengukuran non-finansial, maka pemikiran yang sekarang terjadi adalah bagaimana
mengkombinasikan kedua aspek tersebut, yaitu aspek finansial dan non finansial,
dalam pengukuran kinerja organisasi. Vanany menyebut pengkombinasian ini dengan
sebutan pengukuran kinerja terintegrasi[34].
Menurutnya, ciri-ciri dari pengukuran kerja terintegrasi yang utama adalah
menggunakan keseimbangan antara indikator-indikator kinerja finansial dan
non-finansial. Sedangkan ciri-ciri pengukuran lainnya dikutip dari Kennerly
(2000) oleh Vanany[35],
yaitu:
1.
Mampu
menyediakan gambaran seimbang dari organisasi,
2.
Mampu
menggambarkan kondisi kinerja organisasi dengan ringkas,
3.
Mampu
menggambarkan kebutuhan organisasi secara multi dimensional,
4.
Mampu
mengukur kinerja organisasi secara luas (komprehensif) sehingga dapat diketahui
hal-hal apa saja yang sebaiknya dihilangkan serta kebutuhan-kebutuhan apa saja
yang perlu ditambahkan,
5.
Mampu
mengintegrasikan organisasi baik secara fungsi-fungsinya maupun secara
hirarkhinya.
Vanany[36]
selanjutnya menjelaskan bahwa upaya menutupi kelemahan-kelemahan sistem
pengukuran tradisional telah menghasilkan banyak model-model pengukuran yang
dibuat para pakar, seperti : SMART (1988) dari Cross dan Lynch, Performance
Measure Matrix (Keagen et.al, 1989), Balance Score Card (1992) dari
Kaplan dan Norton, Integrated Dynamic PMS (1997) dari Ghalayani et.al.,
Integrated Performance Management System (1997) dari Bititchi et.al.,
Performance Prism (1999) dari Neely dan Adams dan masih banyak model
lainnya.
b.
Merancang Sistem Manajemen Kinerja
Meskipun terdapat banyak model pengukuran yang diperkenalkan hingga
saat ini termasuk yang sering kita dengar adalah seri ISO, Wibisono[37]
berpendapat bahwa sebaiknya sebuah organisasi memiliki sistem pengukuran
sendiri. Menurutnya model-model tersebut menawarkan terlalu banyak ukuran dan
masing-masing berdiri sendiri sehingga tidak memandang kinerja secara
komprehensif. Objek pengukuran sebaiknya ditetapkan berdasarkan ukuran kunci
yang harus dipertanggungjawabkan oleh manajer berdasarkan levelnya dan
kontekstual terhadap kebutuhan perusahaan. Diharapkan setiap organisasi bisa
memanfaatkan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh kerangka-kerangka kerja
dari model-model tersebut sehingga tidak terjadi fanatisme atau sekedar
mengadopsi tanpa melihat kebutuhan riil dan kondisi usaha serta lingkungan
persaingan usaha yang dihadapi saat ini.
Vanany[38]
dalam bukunya menyatakan bahwa sebagian besar orang masih menganggap bahwa ilmu
pengukuran kinerja hanyalah sekedar aktivitas mengukur kinerja sebuah
departemen atau organisasi, padahal sejatinya, aktivitas mengukur kinerja
hanyalah satu tahap yang harus dilakukan setelah kita berhasil merampungkan rancangan
sistem pengukuran kinerja. Tahap rancangan dari sistem pengukuran kinerja
merupakan tahap yang menentukan baik buruknya pengukuran kinerja. Proses
pengukuran kinerja bersifat kontinu dalam siklus yang tidak putus-putus dengan
paradigma continuous improvement, sehingga dalam hal ini Vanany
menyebutkan bahwa terdapat lima tahapan dalam mengukur kinerja, yaitu:
mendesain, mengukur, mengevaluasi, mengevaluasi hasil pengukuran, merencanakan
action plan dan terakhir mengevaluasi kembali. Jika kita merujuk pada pendapat
Owen et.al sebelumnya, dapat dipahami bahwa pengukuran ini juga sangat
berkaitan dengan visi, misi, nilai dan strategi yang telah ditetapkan
perusahaan.
Dermawan dalam bukunya membuat sebuah konsep mengenai tahapan dalam
perancangan sistem manajemen kinerja yang terdiri dari lima langkah[39],
Tahapan-tahapan di atas digambarkan Dermawan secara singkat dalam gambar 4,
sedangkan keterangan lebih detail mengenai setiap tahapan dapat dibaca dalam
bukunya yang berjudul “Manajemen Kinerja: Konsep Desain, dan Teknik
Meningkatkan Daya Saing Perusahaan”. Berikut penjelasan singkat bagaiamana
kelima tahapan menurut Dermawan:[40]
Gambar 4:
Tahap
Perancangan Sistem Manajemen Kinerja
Sumber:
Dermawan Wibisono, Manajemen Kinerja: Konsep Desain, dan Teknik Meningkatkan
Daya Saing Perusahaan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 25
1.
Tahap
0: Fondasi à
pemahaman atas pedoman prinsip yang harus dijadikan fondasi bagi rancangan
sistem manajemen kinerja.
2.
Tahap
1: Informasi dasar à
informasi dasar yang diperlukan sebagai masukan bagi perancangan sistem
manajemen kinerja pada dasarnya menyangkut lingkungan usaha yang saat ini
sedang digeluti, yang terdiri dari informasi tentang industri, pemerintah dan
masyarakat, pasar dan pesaing, serta produk dan jasa yang dihasilkan
perusahaan.
3.
Tahap
2: Perancangan à
merupakan langkah perancangan sistem manajemen kinerja yang terdiri dari
penentuan visi, misi, strategi dan kerangka kerja yang digunakan dalam sebagai
dasar penentuan variabel kinerja, keterkaitan antar variabel dan kaji banding
(benchmarking).
4.
Tahap
3: Penerapan à
merupakan tahap penerapan rancangan yang meliputi display yang akan didukung,
laporan yang akan dirancang, sosialisasi sistem manajemen kinerja kepada
seluruh karyawan, analisi manfaat/biaya bagi penerapan sistem manajemen
kinerja, modifikasi proses jika diperlukan, pelatihan yang harus disertakan, sumberdaya
yang akan terlibat dalam penerapan, dan kedudukan sistem manajemen kinerja saat
ini terhadap sistem manajemen kinerja yang baru. Pada saat penerapan harus
diuji apakah sistem tersebut telah mengakomodasi empat hal utama, yaitu
pengukuran, evaluasi, diagnosis dan tindak lanjut yang diperlukan jika kinerja
perusahaan/organisasi menyimpan dari strandar yang telah ditetapkan.
5.
Tahap
4: Penyegaran à
merupakan langkah evaluasi terhadap kemutakhiran sistem manajemen kinerja yang
dirancang dengan mempertimbangkan informasi dan perkembangan pengetahuan
terkini.
Tahapan-tahapan di atas bisa dijadikan rujukan bagi organisasi jika
ingin membuat sebuah perancangan manajemen kinerja yang sesuai dengan kondisi
organisasi. Perancangan ini penting dilakukan sendiri oleh organisasi agar
indikator-indikator yang dijadikan kunci dalam pengukuran bisa sesuai dengan
kondisi, sehingga metode pengukuran yang diterapkan benar-benar bisa mengukur
kesuksesan atau kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan.
4.
Penerapan Pengukuran Kinerja Organisasi Di Lembaga Pendidikan (
studi pada Perguruan Tinggi)
a.
Memahami Perguruan Tinggi Sebagai Sebuah Organisasi yang Kompleks
Sebagaimana diketahui perguruan tinggi merupakan sebuah organisasi
yang tujuannya menciptakan dan mentransmisikan pengetahuan. Wang[41]
berpendapat bahwa perguruan tinggi memiliki karakteristik yaitu tujuan yang
berbeda dan ambigu. Tujuan ini juga seringkali terkesan rumit dan sangat luas,
misanya berkontribusi pada perkembangan regional, dampak sosial, penelitian
kelas dunia dll. Disisi lain perguruan tinggi bukanlah bertujuan mencari laba
layaknya organisasi lain disektor bisnis, sehingga mungkin tidak ada dalam
prioritas perguruan tinggi untuk melakukan kegiatan-kegiatan agresif selayaknya
dalam bisnis seperti pencarian tenaga kerja secara agresif, pengurangan dalam
rangka memperoleh laba.
Perguruan tinggi dapat dikenal berdasarkan fungsinya. Seluruh
kinerja akan bisa dikombinasikan dimensi-dimensinya dari fungsi tersebut. Pengukuran
efektivitas dan efisiensi kinerja akan didasarkan pada pengukuran kinerja
fungsi-sungsi yang ada dalam perguruan tinggi. Misalnya ketika berbicara
mengenai efektivitas dan efisiensi aktivitas pendidikan, kinerja kampus bisa
diukur dari jumlah waktu rata-rata lulusan dalam menyelesaikan studi. Ketika
bicara efektivitas dan efisiensi dalam riset atau penelitian, kinerja
universitas dapat dihitung menggunakan jumlah publikasi dan jumlah kutipan.[42]
Untuk memahami lebih detail mengenai kinerja perguruan tinggi, akan
sangat mudah jika gunakan kerangka input-proses-output-outcome sebagaimana gambar
5 berikut ini:
Gambar
5:
Kinerja
organisasi
Sumber: Xiaocheng
Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The
Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 19
Proses di atas mengindikasikan bahwa terdapat empat aspek yang bisa
diukur dalam aktivitas sebuah perguruan tinggi yaitu input, process,
output dan outcome. Input berupa menghitung sumberdaya
yang masuk, misalnya mahasiswa, infrastruktur, dosen, dll; process
mengukur bagaimana universitas menggunakan sumberdaya dalam proses pendidikan,
misalnya program-program pembelajaran, output akan mengukur apa yang
didapatkan dari hasil aktivitas penambahan nilai dalam proses pembelajaran
tersebut, dan outcome akan mengukur pengaruh hasil pembelajaran tersebut
secara lebih luas.
Dalam mentransformasi input menjadi output, ada dua fungsi penting
yang harus ada dalam proses, yaitu kegiatan pembelajaran dan kegiatan
pengelolaan atau bisa diistilahkan dengan kata lain fungsi akademis dan fungsi
manajemen. Memahami dua fungsi ini dalam proses sebagaimana gambar di atas
sangat penting, karena pemahaman tersebut akan sangat membantu dalam membuat
indikator-indikator kinerja. Misalnya kegiatan proses, sangat sedikit orang
yang tahu bagimana proses itu dilaksanakanan guna menghasilkan output berupa
sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang diinginkan. Dalam hal ini pembuat
kebijakan harus tahu agar indikator yang dibuat bisa melakukan kontrol terhadap
kualitas pelayanan dalam kegiatan pendidikan dan utamanya apa yang terjadi
dalam kegiatan proses tersebut.
Untuk memperoleh gambaran secara lengkap mengenai kinerja
universitas, diperlukan sebuah upaya mengembangkan dimensi-dimensi yang terkait
dengan fungsi-fungsi universitas. Akan sangat membantu jika digunakan pembedaan
antara fungsi akademis dan fungsi manajemen. Kegiatan-kegiatan dalam fungsi akademis
dan fungsi manajemen ini akan berkaitan dengan praktik-praktik didalamnya
sehingga bisa menggambarkan unsur-unsur secara lebih lengkap terkait kinerja
organisasi. kinerja akademis merupakan kinerja kunci dalam perguruan tinggi,
sedangkan kinerja manajemen merupakan pendukung dalam melayani dan meningkatkan
kinerja akademis. Selanjutnya dua dimensi tersebut bisa dibagi lagi dalam sub-sub
dimensi yang lebih mengerucut. Misalnya dalam kinerja akademis biasanya terdiri
dari dua aktivitas yaitu penelitian dan pembelajaran. Dalam kinerja manajemen
juga memiliki dua komponen penting sumberdaya manusia dan sumberdaya keuangan. Sumberdaya
keuangan harus juga ditentukan kinerjanya agar bisa mempertahankan kampus dalam
jangka panjang, misalnya masalah investasi dalam infrastruktur,
penelitian-penelitian dan lain sebagainya. sedangkan sumberdaya manusia terdiri
dari staf-staf termasuk juga staf pengajar.
Dalam membangun kerangka kerja, bisa berpatokan pada model yang
telah diperkenalkan para ahli. sebagaimana yang disampaikan Dermawan sebelumnya
bahwa pada tahap perancangan, memerlukan adanya benchmarking, yaitu
melihat model lain yang bisa dijadikan patokan apakah mengunakan BSC, PRISM
atau yang lainnya. Dalam hal ini kita akan menggunakan contoh menggunakan
Pyramida Cross dan Lynch (1992), yang dikutip oleh Wang[43]
dan Neely et.al[44] ,
bisa dilihat pada gambar 6. Untuk selanjutnya akan dibahas poin penting dalam
pengukuran kinerja yaitu indikator kinerja.
Gambar 6:
Penerapan model
piramida Cross dan Lynch (1992) untuk mengukur kinerja perguruan tinggi
|
Penerapan Model Cross dan Lynch di Perguruan Tinggi
|
|
Model Cross
dan Lynch
|
Sumber :
diadaptasi dari Model Cross dan Lynch (1992) dalam Xiaocheng Wang, Performance
Measurement In Universities, (Enschede, The Netherlands: University of
Twente, 2010), hlm. 21
b.
Performance Indicator
(Indikator Kinerja) Perguruan Tinggi
Akdon[45]
mendefiniskan indikator kinerja sebagai ukuran kuantitatif maupun kualitatif
untuk dapat menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan organisasi. Selain
itu indikator kinerja juga digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi
hari menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tercapainya sasaran maupun tujuan
organisasi. Indikator kinerja biasanya berupa pernyataan-pernyataan yang dapat mengukur
sumberdaya serta hasil terkait tujuan organisasi. Indikator ini harus memiliki
relevansi dengan tujuan organisasi. Karena fokus kita pada perguruan tinggi,
maka berdasarkan bagan sebelumnya pengembangan dan pemilihan indikator kinerja akan
didasarkan pada dimensi akademis dan dimensi manajemen.
Akdon menyebutkan bahwa terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi
suatu indikator kinerja, yaitu[46]:
1.
Spesifik
dan jelas untuk menghindari kesalahan interpretasi
2.
Dapat
diukur secara obektif baik secara kualitatif maupun kuatitatif
3.
Menangan
aspek-aspek yang relevan
4.
Harus
penting/berguna untuk menunjukkan keberhasilan input,output, outcome, manfaat,
dampak serta proses
5.
Fleksibel
dan sensitif terhadap perubahan pelasanaan.
6.
Efektif
dalam arti datanya mudah diperoleh, diolah dan dianalisis dengan biaya yang
tersedia.
Berdasarkan fungsinya, kinerja akademis merupakan indikator utama
perguruan tinggi dalam pengukuran kinerja kampus. Akademis menjadi ikon dalam
melihat apakah sebuah universitas bagus dan tidak. Untuk membuat indikator
pengukuran kinerja, maka dibutukan untuk memahami tujuan serta misi organsiasi.
Untuk mengetahui mengukur apakah universitas memiliki kinerja penelitian dan
pengajaran yang bagus, Wang[47]
merumuskan beberapa kriteria sebagaimana yang tertera dalam tabel 1, antara
lain:
Tabel 1:
Kriteria-kriteria
umum kinerja organisasi dari fungsi akademis
|
Sub Dimensi Penelitian
|
Sub Dimensi Pendidikan/pengajaran
|
|
1.
Personel penelitian yang bagus
2.
Jumlah pembiayaan pada kegiatan penelitian setiap tahunnya
3.
Jumlah lulusan doktor
4.
Jumlah dana penelitian yang dihibahkan oleh pemerintah atau pihak
ketiga
5.
Keunggulan dalam output riset dan outcome riset
|
1.
Banyaknya jumlah program yang ditawarkan
2.
Staf akademis yang unggul/bagus
3.
Keanekaragaman siswa yang masuk dari segi kawasan, budaya, dan
agama
4.
Jumlah lulusan yang mendapatkan pekerjaan
5.
tingginya jumlah lulusan
|
Sumber: Xiaocheng
Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The
Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 23-24
Selain dimensi akademis, dimensi selanjutnya adalah dimensi
manajemen, sesuai dengan yang tertera pada gambar 6, diketahui ada dua sub
dimensi yaitu sumberdaya manusia (Human Resources) dan Finansial.
Sebagaimana diketahui tujuan dari perguruan tinggi adalah menghasilkan
orang-orang pintar, dalam hal ini tentunya staf akademis (dosen) memiliki
peranan yang besar dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Hal-hal yang penting
dalam memiliki personel yang unggul bisa dilihat dari beberapa sisi antara
lain, jumlah Doktor dan profesor, serta jumlah dosen dan staf pendukung
lainnya. Untuk mempertahankan sumberdaya yang handal diperlukan investasi
perguruan tinggi dalam pelatihan, pengambangan serta rekrutmen yang bagus dalam
rangka mencetak personel yang memiliki kompetensi.
Sumberdaya finansial dalam perguruan tinggi menggambarkan kemampuan
organisasi dalam pengelolaan keuangan lembaga, pengoperasian lembaga,
pengambilan keputusan yang tepat terkait dengan output yang dihasilkan. kemampuan finansial akan
tergambar dalam apa yang didapatkan organisasi terkait sumberdaya yang
dimiliki, sehingga kemampuan pengelolaan finansial ini akan menjadi poin
krusial dalam merealisasikan tujuan organisasi. Dengan demikian kinerja
finansial dalam perguruan tinggi akan dapat diukur dengan melihat apakah
lembaga memiliki keuangan yang sehat, sehingga kriterianya dapat dilihat pada
bagaimana perguruan tinggi menggunakan sumberdaya keuangannya untuk melayani
tujuan akademis.
Berdasarkan gambar 6 yang ditunjukkan sebelumnya, maka berikut ini
akan ditunjukkan salah satu contoh[48] yang
tertera sebagaimana di tabel 2 mengenai pembuatan indikator kinerja yaitu dalam
dimensi akademis, dalam sub dimensi penelitian. Contoh ini diadaptasi dari
penelitian yang dilakukan Wang[49].
Tabel tersebut hanya salah satu contoh dari sub-dimensi dari
dimensi akademis, masih ada tiga sub dimensi lainnya yang tidak bisa
dicontohkan satu persatu dalam makalah ini yaitu terkait indikator kinerja
pengajaran atau pendidikan, indikator sumber daya manusia dan indikator
finansial. Makalah ini hanya memberikan contoh gambaran singkat terkait bagaimana
cara menerapkan pengukuran kinerja di lembaga pendidikan, untuk yang lainnya
bisa dikembangkan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Bagi manajer pendidikan Islam, sangat penting untuk memahami
bagaimana membuat perancangan manajemen kinerja organisasi, agar pengukuran
yang mereka lakukan tidak terkesan ikut-ikutan trend sehingga pengukuran
menjadi bias dan tidak berujung pada stabilitas lembaga secara
berkesinambungan. Pemahaman ini akan mengarahkan pada pentingnya penggunaan
model pengukuran yang tepat agar alat pengukuran yang digunakan benar-benar
bisa mengukur apa yang ingin diukur, sehingga dapat diketahui bagaimana kondisi
kinerja lembaga pendidikan saat ini. Pengukuran ini akan menjadi dasar bagi
lembaga pendidikan Islam untuk terus meningkatkan kinerjanya, memperbaiki yang
kurang dan mempertahankan yang telah baik, serta meningkatkan ke arah yang
lebih baik lagi.
Tabel
2:
Indikator
kinerja “sub dimensi penelitan”
|
Area kinerja
|
indikator
|
Alternatif
pengukuran
|
Keterangan
|
|
Input
|
Peneliti dari universitas
|
Jumlah penelitan yang dilakukan staf akademis
|
Lembaga harus menyediakan pendekatan yang valid dalam mengukur
keterlibatan staf dalam penelitian. Pimpinan harus dapat mengetahui berapa
jumlah peneliti atau berapa banyak staf yang telah mengadakan penelitian.
|
|
Jumlah penelitian dari pihak sponsor
|
Jumlah peneliti yang dibiayai oleh beasiswa pihak luar kampus
|
Semakin banyak jumlah peneliti yang dibiayai oleh pihak lain akan
semakin menunjukkan bahwa kampus memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
lingkungannya dan memiliki jaringan yang bagus dengan pihak lain.
|
|
|
Jumlah aplikasi penelitian yang diterima pihak luar
|
Jumlah proposal penelitian yang sukses di tingkat nasional maupun
internasional
|
Indikator ini akan mengarah pada kekuatan sumberdaya terkait
kualitas proposal. Hal ini akan menunjukkan kebutuhan akan dukungan dan
pelatihan untuk mendaftar program-program penelitian yang ditawarkan pihak
lain.
|
|
|
Jumlah partner yang strategis
|
Jumlah perjanjian formal yang dilakukan lembaga dalam penelitian
|
Indikator akan menghitung jumlah perjanjian yang telah dilakukan
lembaga. Semakin banyak jumlah kontrak perjanjian akan menunjukkan semakin
strategis partnership dengan pihak lain, sehingga memungkinkan adanya
keanekaragaman sponsorship
|
|
|
output
|
Jumlah publikasi yang dilakukan unit penelitian
|
Jumlah jurnal, artikel, buku dan hal kerja lainnya
|
Indikator harus menunjukkan nilai pengukuran yang berbeda untuk
masing-masing hasil, apakah jurnal, artikel, buku, proceeding dan sebagainya
|
|
Jumlah anugah gelar doktor
|
Rata-rata jumlah penganugerahan gelar doktor pertahun
|
Indikator sangat penting dalam upaya membandingkan kinerja
universitas dibandingkan dengan kampus lain
|
|
|
Jumlah enterpreneur yang sukses
|
Rata-rata pertumbuhan enterpreneur yang sukses
|
Indikator jumlah siswa dan staf yang menjadi pengusaha memang
sulit dideteksi, tetapi ini sangat urgen untuk melihat output yang dihasilkan
kampus
|
|
|
outcome
|
Pengutipan
|
Pengutipan
|
Pengutipan merupakan indikator yang bisa digunakan dalam mengukur
outcome. Butuh penghitungan yang tepat karena untuk bisa dikutip membutuhkan
waktu yang lama.
|
|
Keanggotaan penelitian atau editor jurnal
|
Jumlah anggota dewan kampus yang menjadi anggota badan penelitian
atau editor jurnal
|
Indikator akan menyediakan pimpinan gambaran lengkap terkait
reputasi lembaga.
|
Sumber:
diadaptasi dari Xiaocheng Wang, Performance Measurement In Universities,
(Enschede, The Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 31-33
Islam sendiri sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa kinerja harus
dinilai. Ayat yang bisa menjadi rujukan penilaian kinerja itu adalah surat
at-Taubah ayat 105.
È@è%ur (#qè=yJôã$# uz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( cruäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤¶9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
Dan Katakanlah: "Beramallah kalian, Maka Allah dan rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat amal perbuatan kalian itu. Kelak kalian
akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan yang
nyata. Dia menerangkan kepada kalian amal perbuatan yang telah kalian kerjakan. [50]
Kinerja
kita akan menentukan seperti apa usaha kita kelak. Apakah akan sukses atau
justru sebaliknya. Untuk mencapai kesuksesan diperlukan sebuah upaya
berkesinambungan dimana kita selalu melakukan evaluasi dengan
penilaian-penilaian yang telah ditetapkan sebelumnya, agar kita selalu tahu
sampai dimana saat ini kondisi kita jika dihadapkan pada tujuan yang hendak
kita capai. Jika dari hasil penilaian kita masih jauh dari tujuan, maka
diperlukan strategi untuk meningkatkan kinerja guna mencapai tujuan tersebut.
C.
KESIMPULAN
1.
Produktivitas memiliki pengertian tunggal yaitu rasio antara
output/input, dengan lima kemungkinan yang menyertainya. Sedangkan Performance
atau kinerja organisasi adalah tingkat kemampuan organisasi dalam upaya
mencapai tujuan dan tingkat kemampuan organisasi dalam upaya menjaga
keberlangsungan organisasi melalui sumberdaya yang bernilai, dimana untuk
mencapai kinerja yang tinggi pemimpin harus dapat mengidentifikasi
faktor-faktor yang mendorong dan menghambat kinerja organisasi.
2.
Kinerja memiliki makna yang lebih luas, yang didalamnya termasuk
produktivitas dan profitabilitas, dengan demikian produktvitas menjadi salah
satu bagian dari pengukuran kinerja organisasi.
3.
Konsep pengukuran kinerja merupakan konsep yang berkelanjutan dan
memiliki tahapan, yaitu pondasi, informasi dasar, perancangan, penerapan dan
penyegaran, yang dalam penerapan pembuatan rancangan manajemen kinerja, harus
didasarkan pada kondisi riil organisasi.
4.
Penerapan pengukuran kinerja organisasi di lembaga pendidikan,
harus melalui benchmarking model yang tepat sehingga selanjutnya dapat disusun
indikator-indikator yang tepat pula, karena lembaga pendidikan memiliki
karakteristik yang berbeda dengan lembaga umum atau lembaga bisnis lainnya.
DAFTAR RUJUKAN
Abu-Jarad, Ismael Younis ; Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin.
2010. A Review Paper on Organizational
Culture and Organizational Performance, International
Journal of Business and Social Science, 1 (3) pp: 26-46)
Akdon. 2009. Strategic
Management for Educational Management (Manajemen Strategik untuk Manajemen
Pendidikan). Bandung:Alfabeta.
Chien,M.H. 2004. A Study to Improve Organizational Performance. A
View from SHRM. Journal of American Academy of Busines,Vol.4,1/2;p289.
Daryanto. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya:
Apollo.
Ghobadian, Abby and Tom Husband, Tom. 1990. “Measuring total productivity using
production functions”. International Journal of Production Research. Vol. 28 No. 8, pp. 1435-46.
Gie, The Liang. 2003. Efisiensi untuk meraih sukses.
Yogyakarta: Panduan
Hansen,G.S.,&Wernerfelt.1989. Determinants of Firm Performance:
Relative-Importance of Economic and Organizational Factors. Strategic
Management Journal,10(5).p399-411.
Hassan, A. 2010. Alfurqan Tafsir Qur’an. (Jakarta: Universitas
Al Azhar Indonesia)
Kaplan, R.S. and Norton,D.P. 1992.
“The Balanced Scorecard: measures that driveperformance”, Harvard
Business Review,Vol.70 No.1,pp.71-9.
Misterek, S., Dooley, K. and Anderson, J.1992. “Productivity as a performance measure”, International Journal of Operations &
Production Management, Vol. 12 No. 1, pp. 29-45.
Nasution, M.N. 2001. Manajamen
Mutu Terpadu (Total Quality Manajemen). Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia
Neely, Andy; Bourne, Mike; and
Kennerley, Mike. 2000. Performance
measurement system design: developing and testingaprocess-basedapproach,
International (Journal of Operations & Production Management. Vol.
20 No. 10, pp. 1119-1145
Owen, Keith; Mundy, Ron; Guild, Will; and Guild, Robert. 2001.
Creating and sustaining the high performance organization. Managing
Service Quality. 11 (1), pp. 10-21
Ross, J.E. 1994. Principel of Total Quality. Delray Beach:
St. Lucie Press
Rutkauskas, Jonas and Paulaviciene, Eimene. 2005. Concept of
Productivity in Service Sector. Engineering Economics, 3 (43), pp.
29-34.
Sinungan, Muchdarsyah. 2003.
Produktivitas Apa dan Bagaimana, Jakarta: Bumi Aksara
Tangen, Stefan . 2005. Demystifying productivity and performance. International
Journal of Productivity and Performance Management, 54 (1), pp. 34-46.
Vanany, Iwan. 2009. Performance Measurement: Model dan Aplikasi.
Surabaya: ITS Press.
Wade, David & Recardo, Ronald.
2001. Corporate Performance Management: How to Build A Better
Organization Through Measurement-Driven Strategic Alignment. Boston ;
Oxford : Butterworth-Heinemann.
Wang, Xiaocheng. 2010.
Performance Measurement In Universities. Enschede, The
Netherlands: University of Twente.
Wibisono, Dermawan. 2006. Manajemen Kinerja: Konsep
Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
[1] Stefan Tangen, Demystifying productivity and performance, (International
Journal of Productivity and Performance Management, 2005), 54 (1), pp. 34-46, hlm. 34
[2] Jonas
Rutkauskas and Eimene Paulaviciene, Concept of Productivity in Service Sector,
(Engineering Economics, 2005) ISSN 1392-2785. No 3 (43), pp.
29-34, hlm. 30
[3] M.N. Nasution,
Manajamen Mutu Terpadu (Total Quality Manajemen), (Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2001), hlm. 203
[4] Misterek, S., Dooley, K. and Anderson, J. “Productivity as a performance
measure”, (International Journal of Operations & Production Management,
1992), Vol. 12 No. 1, pp. 29-45.
[5] Jonas
Rutkauskas and Eimene Paulaviciene, Concept of Productivity...., hlm. 30
[6] Stefan Tangen,
Demystifying ..., hlm. 37
[7] J.E. Ross, Principel
of Total Quality, (Delray Beach: St. Lucie Press, 1994), hlm 191
[8] Muchdarsyah
Sinungan, Produktivitas Apa dan Bagaimana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003),
hlm. 17
[9] Jonas
Rutkauskas and Eimene Paulaviciene, Concept of ...., hlm. 30
[10] The liang Gie,
Efisiensi Untuk Meraih Sukses, (Yogyakarta: Panduan, 2003), hlm. 42
[11] Stefan Tangen,
Demystifying..., hlm 38
[12] Abby Ghobadian and Tom Husband, “Measuring total productivity
using production functions”, (International Journal of Production Research,1990)
Vol. 28 No. 8, pp. 1435-46, hlm. 1435
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Stefan Tangen,
Demystifying..., hlm 38
[16] Ismael Younis
Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review Paper on Organizational
Culture and Organizational Performance, (International Journal of Business
and Social Science, 2010), 1 (3: 26-46), hlm. 28
[17] Stefan Tangen,
Demystifying..., hlm 40-41
[18] Xiaocheng
Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The
Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 14
[19] Ibid
[20] Daryanto, Kamus
Bahasa Indonesia Lengkap, ( Surabaya: Apollo, 1997), hlm. 368
[21] Ismael Younis
Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review Paper..., hlm. 32
[22] Ibid., hlm.
29
[23] Keith Owen, Ron Mundy, Will Guild and Robert Guild, Creating
and sustaining the high performance organization, (Managing Service Quality,
2001), 11 (1), pp. 10-21, hlm. 10
[24] Ibid., hlm.
11
[25] David Wade
& Ronald Recardo, Corporate Performance Management: How to Build A
Better Organization Through Measurement-Driven Strategic Alignment, (Boston
; Oxford : Butterworth-Heinemann, 2001.), hlm. 6-7
[26] Stefan Tangen,
Demystifying..., hlm 43
[27] Ibid
[28] Ismael Younis
Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review Paper..., hlm. 32
[29] Dermawan
Wibisono, Manajemen Kinerja: Konsep Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya
Saing Perusahaan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 3
[30] Ismael Younis
Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review Paper..., hlm. 30
[31]Dermawan
Wibisono, Manajemen Kinerja..., hlm. 3-4
[32] Ismael Younis
Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review..., hlm. 32
[33] Kaplan, R.S. and Norton,D.P.(1992), “The Balanced Scorecard:
measures that driveperformance”, Harvard Business Review,Vol.70
No.1,pp.71-9.
[34] Iwan Vanany, Performance
Measurement: Model dan Aplikasi, (Surabaya: ITS Press, 2009), hlm. 15
[35] Ibid., hlm.
19
[36] Ibid., hlm.
23
[37] Dermawan
Wibisono, Manajemen Kinerja..., hlm. 14
[38] Iwan Vanany, Performance
Measurement:..., hlm. 1-2
[39] Dermawan
Wibisono, Manajemen Kinerja..., hlm. 26
[41] Xiaocheng
Wang, Performance..., hlm. 18
[42] Ibid
[43] Xiaocheng
Wang, Performance..., hlm. 21
[44] Andy Neely, Mike Bourne, Mike Kennerley, Performance measurement
system design: developing and testingaprocess-basedapproach, International (Journal
of Operations & Production Management, Vol. 20 No. 10, 2000, pp. 1119-1145),
hlm. 1126
[45] Akdon, Strategic
Management for Educational Management (Manajemen Strategik untuk Manajemen
Pendidikan), (Bandung:Alfabeta, 2009), hlm. 167
[46] Ibid., hlm.
167-168
[47] Xiaocheng
Wang, Performance..., hlm. 23-24
[48] Dalam
pembahasan indikator kinerja Perguruan Tinggi ini, Penulis hanya memberikan
satu contoh yaitu hanya pada dimensi akademik dengan sub dimensi bidang
penelitian, untuk selanjutnya bisa dikembangkan sendiri oleh pembaca atau pihak
lain yang berkepentingan.
[49] Xiaocheng
Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The
Netherlands: University of Twente, 2010)
[50] A.
Hassan, Alfurqan Tafsir Qur’an.
(Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia, 2010), hlm. 325
If you're trying to lose pounds then you certainly have to start using this brand new personalized keto plan.
BalasHapusTo create this keto diet, certified nutritionists, personal trainers, and top chefs have united to provide keto meal plans that are efficient, convenient, price-efficient, and satisfying.
From their grand opening in early 2019, thousands of people have already remodeled their body and well-being with the benefits a professional keto plan can provide.
Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover 8 scientifically-certified ones provided by the keto plan.