Minggu, 15 Maret 2015

PRODUKTIVITAS (PRODUCTIVITY ) DAN KINERJA (PERFORMANCE) ORGANISASI



BAB X

(Pengertian, Konsepsi, Pengukuran dan Penerapannya di  Lembaga pendidikan)

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Salah satu pertanyaan terpenting dalam dalam sebuah aktivitas organisasi adalah mengapa ada organisasi yang sukses, sementara ada organisasi yang gagal atau tidak sukses. Jawaban dari pertanyaan ini akan merujuk pada satu persoalan penting yang disebut dengan kinerja organisasi (organizational performance). Kinerja organisasi menjadi persoalan penting dalam rangka menjadikan sebuah organisasi sukses mencapai tujuan. Konsep ini kemudian sering rancu dengan konsep lain yaitu produktivitas.
Istilah productivity (produktivitas) dan performance (kinerja) seringkali digunakan dalam literatur akademis maupun dalam lingkungan komersial dimana keduanya sangat jarang mendapatkan penjelasan yang cukup lengkap dan membuat kita mengerti. Dan bahkan kedua istilah tersebut sering membingungkan karena keduanya seringkali dapat digunakan secara bergantian dan dapat dipertukarkan satu dengan yang lain, asalkan digunakan bersamaan dengan istilah efisiensi, efektifitas dan profitabilitas.[1]
Memahami kedua materi produktivitas dan performa/kinerja organisasi ini sangat penting bagi setiap pemimpin, terutama dalam hal memahami cara pengukurannya. Untuk mencapai kesuksesan diperlukan sebuah upaya berkesinambungan dimana organisasi harus selalu melakukan evaluasi dengan pengukuran-pengukuran didasarkan pada tujuan dan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, agar selalu tahu sampai dimana saat ini kondisi organisasi jika dihadapkan pada tujuan yang hendak dicapai. Jika dari hasil penilaian kita masih jauh dari tujuan, maka diperlukan strategi untuk meningkatkan kinerja guna mencapai tujuan tersebut.
Makalah ini ditulis dalam rangka untuk lebih mempermudah memahami kedua konsep produktivitas dan kinerja organisasi tersebut, terkait dengan pengertian, konsep dasar dan hubungan antara keduanya agar tidak menimbulkan kerancuan. Selanjutnya makalah ini akan lebih memfokuskan pada pengukuran kinerja (performance measurement), mencakup aspek apa saja yang diukur, dan bagaimana tahapannya dalam organisasi. Dan terakhir akan dibahas bagian penting terkait lembaga pendidikan seperti bagaimana penerapan konsep tersebut utamanya dalam organisasi pendidikan, termasuk juga dalam penetapan indikator kinerja.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan, maka makalah ini bermaksud akan membahas tentang:
a.       Apakah produktivitas dan apakah kinerja organisasi itu?
b.      Bagaimanakah hubungan keduanya dalam literatur akademis?
c.       Bagaimana mengukur kinerja organisasi dan tahapan seperti apa yang harus dilaksanakan?
d.      Bagaimana penerapan pengukuran kinerja organisasi di lembaga pendidikan?

3.      Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan ini antara lain untuk
a.       Mengetahui pengertian produktivitas dan kinerja organisasi secara lebih utuh
b.      Mengetahui bagaimana hubungan antara produktifitas dan kinerja organisasi
c.       Mengetahui pengukuran kinerja organisasi termasuk tahapannya seperti apa
d.      Mengetahui penerapan pengukuran kinerja dilembaga pendidikan

B.     PEMBAHASAN
1.      Konsep Produktivitas (Productivity) dan Kinerja (Performance) Organisasi
a.      Pengertian dan Konsep Dasar Produktivitas (Productivity)
Pada awalnya, konsep produktifitas, muncul dalam upaya mengukur dan meningkatkan produktivitas, tidak untuk mendefinisikan, sehingga kemudian konsep ini lahir rumus yang biasa dikenal, Productivity = output/input[2], dimana output adalah hasil yang didapatkan seperti misalnya (produk A, produk B) dan input adalah sumberdaya yang digunakan seperti misalnya tenaga kerja, modal, material dan energi. Disatu sisi, produktivitas berkaitan dengan pemanfaatan/penggunaan sumberdaya (input) , disisi lain produktivitas berkaitan dengan penciptaan nilai (output). Dengan demikian rumus tersebut menjadi pengertian sekaligus cara mengukur produktivitas
Prinsipnya adalah setiap masukan bila dikuantifikasikan dapat digunakan sebagai faktor penyebut (pembagi) pada nisbah produktivitas. Atas dasar itulah orang dapat berbicara tentang produktivitas lahan, modal tenaga kerja atau dari berbagai subkategori lain masing-masing faktor produksi. Namun yang lazin digunakan sekarang ini adalah tenaga kerja karena dianggap merupakan biaya terbesar pada pengadaan produk serta dianggap lebih mudah dihitung daripada masukan dari faktor lain.[3]
Kesalahan umum yang sering terjadi dalam memahami produktivitas adalah menghubungkan adanya produktivitas dengan jumlah pelayanan atau jumlah produk yang telah dihasilkan, dimana terjadi pemikiran bahwa ketika jumlah produk meningkat maka  telah terjadi peningkatan produktifitas, atau dengan kata lain organisasi dikatakan produktif jika mencetak lebih banyak produk. Tentu ini merupakan kesalahan besar.  Jika merujuk pada pengertian atau rumus di atas, maka kemungkinan produktivitas akan banyak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Misterek[4] (dalam Rutkauskas & Paulaviciene[5]; Tangen[6]), bahwa kenaikan tingkat produktivitas pada dasarnya disebabkan oleh lima hubungan input dan output yang berbeda, antara lain:
1.      Output dan input meningkat, tetapi kenaikan input lebih rendah dari kenaikan output (pertumbuhan yang dikelola dengan baik),
2.      Output meningkat sementara input tetap (bekerja lebih cerdas),
3.      Output meningkat sementara input menurun (ideal),
4.      Output sama sementara inputnya menurun,
5.      Output menurun, sementara input juga menurun tetapi tingkat penurunan lebih besar dari output.

Jadi, produktivitas tidak hanya berkaitan dengan jumlah output yang banyak, tetapi juga melihat besar kecilnya input. Kelima unsur perbandingan tersebut, selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun strategi peningkatan produksi, sebagaimana yang disampaikan Ross[7], antara lain:
1.      Menerapkan program reduksi biaya, yaitu upaya untuk menghasilkan output dengan kuatitas yang sama tetapi input yang kita gunakan menjadi lebih sedikit.
2.      Mengelola pertumbuhan, yaitu meningkatkan kuatitas output lebih besar, dengan jumlah input yang ditingkatkan juga tetapi lebih kecil peningkatannya
3.      Bekerja lebih tangkas, yaitu berusaha meningkatkan produktivitas lebih besar tetapi dengan menggunakan input yang sama, dengan cara membita orang untuk bekerja lebih tangkas.
4.      Mengurangi aktivitas, yaitu mengurangi jumlah output dengan cara membuang input-input yang tidak perlu untuk kepentingan efisiensi.
5.      Bekerja lebih efektif, yaitu upaya untuk meningkatkan output  tetapi mengurangi penggunaan input.

Dari kelima kemungkinan di atas, ada satu kemungkinan ideal yang sering dipakai dalam menilai tingkat produktivitas adalah ketika jumlah output tinggi atau besar tetapi jumlah input rendah atau sedikit. Konsep ideal ini kemudian dijadikan definisi umum, Sebagaimana yang dikutip Sinungan[8] dalam bukunya bahwa dalam doktrin pada konferensi Oslo (1984) tercantum definisi umum produktivitas semesta, yaitu”
“produktivitas adalah suatu konsep yang bersifat universal yang bertujuan untuk menyediakan lebih banyak barang dan jasa untuk lebih banyak manusia, dengan menggunakan sumber-sumber riil yang makin sedikit.”

Pengertian di atas, pada intinya juga menyiratkan isi dari rumus produktivitas yaitu rasio antara output dan input. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa produktivitas secara tunggal diterima dengan pengertiannya sesuai dengan rumus pengukurannya, yaitu rasio antara output dengan input.
Meskipun produktivitas, dikenal dengan rumus tunggalnya (rasio output dan input), namun perlu dipahami bahwa produktivitas merupakan konsep yang relatif. Relativitas ini dapat dilihat pada beberapa hal. Pertama, produktivitas akan sangat tergantung pada variasi-variasi yang dimiliki kompetitor atau standar lain pada satu waktu dan dapat berubah sepanjang waktu.[9] Sebagaimana yang yang disampaikan  Liang Gie[10] bahwa Arti produktivitas menunjukkan kemampuan pada orang atau peralatan untuk mewujudkan hasil yang menurut sub unsur jumlah (kuantitas) lebih banyak ketimbang apa yang telah lazim di lingkungan sekitar atau masyarakat. Seperti misalnya dalam satu tahun tertentu seorang penyair dikatakan produktif karena memiliki lebih banyak karya dibanding dengan penyair yang lain dalam satu waktu tertentu.
Kedua, konsep produktivitas sangat tergantung pada konteks dimana kata tersebut digunakan. Dalam studinya, Tangen[11] mendapati bahwa istilah produktivitas merupakan istilah multidimensional yang berarti bahwa sangat tergantung pada konteks dimana kata tersebut digunakan. Seperti halnya yang disampaikan Ghobadian & Husband[12], menyatakan bahwa terdapat kebingungan dalam mendefinisikan produktivitas serta bagaimana metode pengukuran produktivitas tersebut. Kebingungan ini barangkali disebabkan karena adanya fakta bahwa kata tersebut menarik banyak orang dengan berbagai background untuk menggunakannnya dengan perspektif /sudut pandang yang berbeda-beda. Selanjutnya Ghobadian & Husband[13] Menyimpulkan bahwa area yang digunakan dalam penggunaan kata produktivitas dimaksudkan antara lain untuk menggantikan ‘selesainya pekerjaan’, pengurangan biaya, termanfaatkannya sumberdaya, efisiensi sumberdaya atau efisiensi produksi. Dalam pengertian yang lebih luas Ghobadian and Husband[14] Menyimpulkan bahwa definisi produktivitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori:
1.      The technological concept: hubungan antara rasio output terhadap input yang digunakan dalam sebuah produksi.
2.      The engineering concept: hubungan antara output aktual dengan output potensial dalam sebuah proses
3.      The economist concept: alokasi sumberdaya yang efisien

Dari paparan di atas, berkaitan dengan pengertian tunggal yang disepakati para ahli bahwa produktivitas merupakan rasio antara output dan input, maka selanjutnya penulis memahami bahwa konsep produktivitas ini akan sangat mudah jika kita mengaitkannya konsep organisasi sebagai sebuah sistem, dimana dalam sistem tersebut tiga aspek pokok yaitu input, proses dan output, dimana dalam kegiatan organisasi apapun, dalam mencapai tujuan akan terdapat usaha mentransformasi input menjadi output. Dengan memahami organisasi sebagai sebuah sistem, maka pemahaman akan lebih mudah utamanya dalam memahami pengertian dan rumus utamanya. Dalam transformasi tersebut dikatakan produktif jika output dan input memiliki perbandingan ideal seperti yang disampaian Misterek sebelumnya. Untuk memahami sistem ini secara lebih rinci, Tangen[15] menggambarkannya sebagaimana dalam gambar 1.
            Gambar 1
Gambar proses transformasi input menjadi output dan model produktivitas
           
Sumber: Stefan Tangen, Demystifying productivity and performance, (International Journal of Productivity and Performance Management, 2005),  54 (1), pp. 34-46, hlm. 38

Berdasarkan paparan dan gambar di atas, maka terkait dengan pengertian dan konsep dasar produktivitas, ada tiga hal yang dapat dipahami. Pertama, produktivitas adalah rasio antara output dan input organisasi (output/input), dimana sebuah organisasi dikatakan produktif jika memenuhi kelima unsur perbandingan output dengan input sebagaimana yang telah disampaikan Misterek sebelumnya.
Kedua yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa karena produktivitas sangat relatif, maka sebuah organisasi dikatakan produktif atau tidaknya sangat tergantung pada kondisi lingkungannya juga, dalam artian meskipun sebuah organisasi mengatakan bahwa dirinya memiliki produktifitas yang baik tetapi karena seluruh kompetitor memiliki produktifitas yang lebih baik lagi, maka organisasi tersebut bisa dikatakan belum produktif di mata masyarakat.
Ketiga, karena konsep produktivitas ini sangat berkaitan dengan rasio output dan input, maka penulis berpendapat bahwa konsep produktivitas ini hanya berhubungan dengan aspek kuantitas saja, tidak mencakup aspek kualitas. Hanya mengkuantitatifkan output dan input kemudian membandingkannya, dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang efektif dan efisien. Jika demikian, tentunya dalam organisasi diperlukan pengukuran lain yang lebih luas yang juga bisa mencakup aspek kualitas, atau jika dalam organisasi yang berorientasi profit, diperlukan juga pengukuran yang terkait dengan kegiatan finansial. Dengan demikian kita perlu memahami konsep yang lebih luas yang dikenal dengan istilah performance (kinerja).

b.      Pengertian dan Konsep Dasar Kinerja Organisasi (Organizational performance)
Permasalahan pertama dalam memahami konsep kinerja organisasi adalah masalah definisi. Tidak berbeda dengan konsep produktivitas, Organizational performance (kinerja organisasi) juga menderita tidak hanya dalam masalah definisi tetapi juga masalah konseptual.[16] Kedua kata tersebut (produktivitas dan kinerja), dianggap bisa saling menggantikan, sehingga seringkali kata produktivitas bisa diganti dengan kata kinerja. Berdasarkan pendapat Tangen[17], konsep kinerja merupakan istilah yang lebih luas daripada produktivitas yang memayungi seluruh aspek ekonomi dan operasional. Didalamnya akan termasuk seluruh tujuan dari kompetisi dan kesempurnaan dalam organisai seperti biaya, fleksibilitas, kecepatan, dan kualitas. Sehingga kinerja dapat dideskripsikan sebagai sebuah payung dari istilah-istilah yang bertujuan untuk kesuksesan organisasi dan kegiatannya.
Berdasarkan studi yang dilakukan Wang[18], tidak ada kesepakatan definisi dari kinerja organisasi (organizational performance) karena adanya berbagai macam jenis organisasi dengan situasi yang berbeda-beda, sehingga mendefiniskan kinerja organisasi tanpa melibatkan konteks organisasi akan menjemukan. Oleh karenanya definisi kinerja terkesan bebas dan sangat tergantung pada lapangan studi yang dipelajari. Meski demikian, menurut Wang[19] untuk memahami kinerja organisasi, terdapat dua model yang bisa dijadikan patokan. Pertama, model rasional-tujuan (the rational-goal model), yang mengartikan kinerja organisasi adalah tingkat dimana tujuan organisasi bisa dicapai. Dengan demikian kinerja organisasi dapat diukur sampai dimana tujuan organisasi bisa dicapai. Kedua adalah model sistem sumberdaya (the system resources model) yang mendefinisikan kinerja organsisasi melalui keberlangsungan hidup organisasi melalui interaksi aktif dengan lingkungannya dengan cara mencari sumberdaya yang bernilai. Dalam hal ini survivability (kelangsungan hidup) organisasi menjadi indikator kritis/kunci dalam kinerja organisasi. kemampuan untuk mendapatkan sumberdaya yang bernilai menjadi kunci penting dalam upaya menjaga kelangsungan hidup organisasi.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kinerja di artikan sebagai sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau juga kemampuan kerja[20]. Dari pengertian kamus Bahasa Indonesia, ditambah dengan berbagai uraian pendapat para ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa kinerja organisasi adalah tingkat kemampuan organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan tingkat kemampuan organisasi dalam upaya menjaga keberlangsungan organisasi melalui sumberdaya yang bernilai. Dari pengertian tersebut maka kinerja organisasi merujuk pada kesuksesan organisasi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, sehingga diperlukan pemahaman terkait dengan faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja organisasi, kendala-kendala apa yang bisa menghambat kesuksesan organisasi serta upaya apa yang perlu dilakukan untuk menghasilkan kinerja organisasi yang tinggi.   
Permasalahan selanjutnya terkait dengan kinerja organisasi adala faktor-faktor apa saja yang menentukan sebuah kinerja organisasi. berdasarkan pendapat Hansen dan Wernerfelt (1989), yang dikutip oleh Abu Jarad, et.al.[21], ada dua pendapat terkait faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja organisasi. pertama, faktor ekonomi, yang menekankan pada pentingnya faktor eksternal (pasar) yang menentukan kinerja organisasi, antara lain:
-       Karakteristik industri dimana organisasi bergerak
-       Posisi organisasi dihubungkan dengan kompetitornya
-       Kualitas sumberdaya dari perusahaan

Sedangkan kedua, faktor model organisasi yang berhubungan dengan paradigma perilaku dan sosial seperti misalnya kebijakan sumberdaya manusia, budaya organisasi dan gaya kepemimpinan. Seperti penelitian Chien (2004) yang dikutip oleh  Abu Jarad, et.al.,[22] menemukan bahwa terdapat lima faktor yang menentukan kinerja organisasi, antara lain:
-       Gaya kepemimpinan dan lingkungan
-       Budaya organisasi
-       Desain pekerjaan
-       Model motivasi
-       Kebijakan sumberdaya manusia

Untuk lebih memahami faktor-faktor di atas, kita merujuk pendapat Owen, et.al[23] menegaskan bahwa untuk kesuksesan jangka panjang sebuah organisasi, dibutuhkan adanya kemampuan organisasi untuk mengembangkan dan mempertahankan sebuah budaya yang mampu menyampaikan produk dan jasanya sepanjang waktu. Dan kemampuan ini dapat dipelajari. Dalam upaya untuk mengembangkan budaya tersebut, Owen telah mengidentifikasi halangan-halangan yang menghambat kesuksesan organisasi dalam rangka mewujudkan kinerja yang tinggi, antara lain:
1.      Seringkali pemimpin senior dari sebuah organisasi tidak memahami pasar apa yang harus dipenuhi organisasi. hal ini akan berdampak pada ketidakcocokan visi, misi dan strategi yang ditetapkan. Bahkan sering juga terjadi meskipun pimpinan paham, tetapi kemungkinan mereka gagal dalam menterjemahkan visi, misi dan nilai-nilai ke dalam strategi dan proses yang menjadikan mereka bisa sukses. Akibatnya budaya, sistem dan infrastuktur yang dimiliki tidak sejalan dengan realitas pasar yang ada.
2.      Seringkali perilaku-perilaku yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kesuksesan strategi bisnis tidak sejalan dengan kebutuhan konsumen dan pasar. Misalnya konsumen atau pasar menghendaki adanya pelayanan yang cepat dan tidak berbelit-belit. Tetapi struktur organisasi yang diterapkan terlalu ketat dan prosedur yang terlalu panjang.
3.      Sistem dan proses organisasi seringkali gagal dalam mendukung visi dan strategi organisasi. akibatnya fokus dan cara pengukuran menjadi salah. Misalnya sistem manajemen kinerja didasarkan pada pengukuran yang umum, yang hanya memberikan sedikit informasi sehingga tidak dapat akuntable dalam menentukan perilaku apa saja yang harusnya dibutuhkan dalam merespon kebutuhan konsumen.

Budaya akan mengarahkan pada persepsi mengenai apa yang penting (nilai), apa yang mungkin (kesempatan), dan apa yang riil (realitas). Seperangkat kepercayaan ini akan diekspresikan melalu rutinitas dan menjai norma dalam organisasi dan dikuatkan dengan adanya reward dan punishment yang diberlakukan dalam organisasi.
Selanjutnya owen et.al.[24] menjelaskan bahwa terdapat lima elemen inti jika ingin membawa organisasi pada kinerja yang tinggi, yang secara ringkas digambarkan pada gambar 2, yaitu:
1.      Persepsi pemimpin senior terhadap pasar. Pasar berubah sepanjang waktu karena faktor-faktor seperti kompetisi, perubahan teknologi dan kondisi ekonomi. Organisasi yang sukses akan mampau mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan tersebut.
2.      Sharing visi, misi, nilai-nilai dan strategi yang sejalan dengan realitas pasar. Dalam hal ini visi, misi, nilai dan strategi yang ditetapkan harus diberitahukan kepada pegawai, termasuk mengenai apa saja yang penting, pada saat apa akan diberikan reward dan pada saat apa akan diberikan punishment. Dan yang sangat penting adalah siapa yang berhak mengambil keputusan dalam organisasi mulai dari atas sampai ke bawah terkait inovasi dan apa saja yang boleh dilakukan.
3.      Praktik kepemimpinan yang sejalan dengan visi, misi, nilai-nilai dan strategi yang ditetapkan. Dalam hal ini dibutuhkan perilaku pemimpin yang efektif antara lain: meyakinkan adanya harapan yang pasti, mendorong adanya rasa memiliki, melibatkan pegawai dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, menekankan pada pentingnya kualitas, mendorong adanya konsistensi fokus pada kebutuhan konsumen, mendorong dan memberikan reward terhadap pengembangan kemampuan dan pembelajaran.
4.      Infrastuktur yang mendukung penguatan visi, misi, nilai-nilai dan strategi. Yang dimaksud dengan infrastruktur di sini adalah sebuah kebijakan, prosedur dan mekanisme dalam organisasi yang diambil dalam rangka mengawasi dan menyediakan timbal balik alam sistem organisasi. infrastruktur ini harus meyakinkan bahwa konsumen telah dilayani oleh orang yang tepat, menggunakan teknologi yang tepat. Sistem ini juga harus menyediakan data mengenai sebaik apa kondisi organisasi.
5.      Perilaku pegawai yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Yang diperlukan disini adalah menempatkan orang yang tepat pada peranan yang tepat serta manajer yang tepat, sehingga dalam hal ini diperlukan identifikasi kekuatan individu dari pegawai terlebih dahulu.





Gambar 2:
Sustainable High Performance Cultural Model
Sumber: Keith Owen, Ron Mundy, Will Guild and Robert Guild, Creating and sustaining the high performance organization, (Managing Service Quality, 2001), 11 (1), pp. 10-21, hlm. 12

Gambar 2 tersebut menunjukkan bahwa untuk bisa mencapai kinerja yang tinggi dalam sebuah organisasi, harus dimulai dari awal, yaitu dari pemimpin senior. Pemimpin senior merupakan cikal bakal terbentuknya kinerja yang tinggi karena hal ini menyangkut pemahaman mereka tentang organisasi dan pasar, sehingga mereka bisa merumuskan visi, misi, nilai dan strategi yang tepat, dalam rangka membentuk sikap dan perilaku bawahannya. Untuk dapat melaksanakan model di atas pemimpin senior harus memahami gap-gap yang terjadi, sehingga gap tersebut bisa dijembatani dengan manajemen yang baik.
Dari paparan terkait kinerja organisasi di atas, maka ada beberapa hal yang bisa dipahami, yaitu pertama performance atau kinerja organisasi adalah tingkat kemampuan organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan tingkat kemampuan organisasi dalam upaya menjaga keberlangsungan organisasi melalui sumberdaya yang bernilai. Kedua, Dalam upaya menjaga tujuan serta menjaga keberlangsungan organisasi tersebut, maka pemimpin harus memahami faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi, utamanya yang menjadi faktor penghambat kinerja organisasi, serta memahami elemen-elemen inti apa yang harus ditekankan dalam upaya membangun budaya berkinerja tinggi.

2.      Hubungan antara Produktivitas dan Kinerja Organisasi    
Untuk bisa lebih memahami hubungan dari kedua istilah, poduktivitas dan kinerja maka akan lebih mudah jika berangkat dari pengukuran keduanya. Kita merujuk pada apa yang disampaikan Wade & Recardo[25] bahwa terdapat lima kategori dari key performance measure adalah:
1.      Financial perspective. Dalam hal ini cashflow merupakan hal yang utama dalam sebuah perusahaan. Banyak perusahaan lebih fokus dalam hal mempertahankan pelanggan mereka daripada berfokus pada laba.
2.      Customer perspective. Mengakuisisi dan mempertahankan konsumen merupakan kunci dalam menghasilkan uang. Misalnya MC Donal dengan pelayanan cepatnya. Dengan mengetahui informasi mengenai konsumen dan kebutuhan mereka akan membuat perusahaan akan lebih bisa mempersiapkan bagaimana cara meningkatkan kepuasan mereka.
3.      Operations perspective. Penghitungan dalam operasional ini biasanya dikenal dengan istilah produktivitas, yang pengukurannya difokuskan pada menghitung rasio output/input. yaitu menghitung kuota produksi dan penggunaan mesin. Sekarang kunci pengukuran diletakkan pada kecepatan. Dibutuhkan peningkatan kecepatan dalam produksi sementara bagian-bagian dalam produksi berkurang. Hal ini dapat dipenuhi dengan cara mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang tidak memberikan nilai tambah, pemberdayaan pegawai yang biasanya dikerjakan manager dan mengembangkan sistem pengukuran kinerja yang extensive.
4.      Organizational perspective. Pengukuran ini pada awalnya berfokus pada kepuasan pekerja/pegawai. Tetapi hasil dari penelitian saat ini mengindikasikan bahwa pegawai akan termotivasi oleh adanya kewenangan untuk mengontrol pekerjaan mereka sendiri, memiliki kewenangan yang besar terhadap konsumen, memiliki sumberdaya yang cukup dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Dengan demikian fokusnya telah bergeser dari memperkerjakan menjadi memanajerialkan untuk sebuah organisasi yang efektif.

Dari paparan di atas, dapat kita ketahui bahwa konsep pengukuran produktivitas ada dalam poin 3, yaitu dalam perspektif operasional. Hal ini menunjukkan bahwa konsep kinerja (performance) lebih luas dibandingkan dengan konsep produktivitas. Konsep produktivitas merupakan salah satu bagian pengukuran dalam mengukur kinerja (performance) sebuah organisasi.
Selain dari Wade and Ricardo, Tangen[26] dalam jurnalnya membuat sebuah model yang dia sebut dengan triple P-Model (sebagaimana dalam gambar 3), yaitu sebuah model yang menggambarkan hubungan antara produktivitas, profitabilitas dan kinerja.



Gambar 3:
The Tripe P Model
Sumber : Stefan Tangen, Demystifying productivity and performance, (International Journal of Productivity and Performance Management, 2005),  54 (1), pp. 34-46, hlm. 43

Dari model tersebut, beliau menjelaskan bahwa produktivitas merupakan inti utama dari model tersebut, yang definisi operasionalnya adalah hubungan antara output (produk yang diproduksi berdasarkan spesifikasi yang telah ditetapkan) dan input (yaitu seluruh sumberdaya yang digunakan dalam proses transformasi). Profitability juga merupakan konsep hubungan output dan input namun dari sisi finansial. Sedangkan performance (kinerja) merupakan konsep luas yang memayung istilah-istilah kesempurnaan, termasuk didalamnya profitabilitas, produktivitas dan juga faktor-faktor non-finansial seperti kualitas, kecepatan, penyampaian jasa serta fleksibilitas. Dalam model tersebut, terdapat dua istilah yang melingkupi ketiga istilah tersebut, yaitu efektifitas dan efisiensi, dimana  efektifitas merepresentasikan tingkat hasil yang diharapkan untuk dicapai, sedangkan efisiensi merepresentasikan bagaimana penggunaan sumberdaya yang digunakan dalam proses transformasi input menjadi output tersebut.[27]
Dari uraian di atas, dapat dipahami kini bahwa membicarakan kinerja dan pengukurannya akan mencakup pembahasan yang lebih luas dibanding dengan produktivitas. Produktivitas merupakan bagian dari kinerja, disamping masalah finasial, sehingga dalam hal selanjutnya penulis akan memaparkan lebih lanjut mengenai pengukuran kinerja, utamanya nanti dalam aplikasinya di lembaga pendidikan yaitu perguruan tinggi.

3.      Pengukuran Kinerja Organisasi (Performance Measurement)
a.      Memahami Sekilas Tentang Aspek yang Diukur dalam Pengukuran Kinerja Organisasi
 Dari berbagai studi mengenai penelitian terdahulu terkait kinerja organisasi, Abu Jarad et.al.[28], menyimpulkan bahwa kinerja organisasi dapat dikategorikan dalam dua kategori yaitu Financial performance (kinerja finansial) dan non financial performance (kinerja non finansial). Financial performance pada dasarnnya merupakan pengukuran kinerja tradisional yang berkembang pada tahun 1800 –an, dimana pengelolaan usaha masih sangat tradisional dan perkembangan teknologi belum sepesat ini[29]. Kinerja perusahaan secara luas dapat diukur melalui kesukseksan finansial (keuangan) dari sebuah organisasi.  Penekanan pada sektor keuangan ini kebanyakan dilakukan pada organisasi yang berorientasi laba yang dapat dilihat dari top-line (misalnya penjualan) dan pada bottom-line (yaitu profitabilitas). Penghitungan laba yang umum digunakan adalah profit margin, return on asset (ROA), return on equity (ROE), return on investment (ROI), dan return on sales (ROS).[30]
Setelah terjadinya perubahan lingkungan dan persaingan usaha yang semakin luas, perhitungan kinerja finansial mendapatkan banyak kritikan karena beberapa hal antara lain: kurang relevan, sistem pengukurannya cenderung melaporkan kinerja masa lalu, berorientasi jangka pendek, kurang fleksibel, tidak memicu perbaikan dan sering rancu pada aspek biaya.[31] Kritikan ini memunculkan pentingnya pengukuran aspek lain dari kinerja yaitu di sisi non-Financial performance, dimana pengukuran pengukuran kinerja organisasi dapat dilihat dari kesuksesan dalam pengelolaan intern organisasi. yang termasuk dalam pengukuran ini misalnya, kepuasan kerja, komitmen organisasi, pergantian karyawan (employee turnover)[32]. Meskipun terdapat pengukuran berbasis finansial, tetapi menurut Kaplan dan Norton[33], saat ini banyak organisasi yang berfokus pada pengleolaan aset intangible (misalnya, customer relationship, inovasi produk dan jasa, proses operasi yang berbasis pada kualitas yang tinggi dan responsifitas, atau yang disebut dengan aspek non-finansial), tidak lagi berbasis pada pengelolaan aset tangible (seperti aset tetap dan persediaan barang dan jasa), yang dikenal dengan istilah aspek finansial.
Setelah adanya kritikan mengenai pengukuran kinerja berbasis finansial, dan munculnya aspek pengukuran non-finansial, maka pemikiran yang sekarang terjadi adalah bagaimana mengkombinasikan kedua aspek tersebut, yaitu aspek finansial dan non finansial, dalam pengukuran kinerja organisasi. Vanany menyebut pengkombinasian ini dengan sebutan pengukuran kinerja terintegrasi[34]. Menurutnya, ciri-ciri dari pengukuran kerja terintegrasi yang utama adalah menggunakan keseimbangan antara indikator-indikator kinerja finansial dan non-finansial. Sedangkan ciri-ciri pengukuran lainnya dikutip dari Kennerly (2000) oleh Vanany[35], yaitu:
1.      Mampu menyediakan gambaran seimbang dari organisasi,
2.      Mampu menggambarkan kondisi kinerja organisasi dengan ringkas,
3.      Mampu menggambarkan kebutuhan organisasi secara multi dimensional,
4.      Mampu mengukur kinerja organisasi secara luas (komprehensif) sehingga dapat diketahui hal-hal apa saja yang sebaiknya dihilangkan serta kebutuhan-kebutuhan apa saja yang perlu ditambahkan,
5.      Mampu mengintegrasikan organisasi baik secara fungsi-fungsinya maupun secara hirarkhinya.

Vanany[36] selanjutnya menjelaskan bahwa upaya menutupi kelemahan-kelemahan sistem pengukuran tradisional telah menghasilkan banyak model-model pengukuran yang dibuat para pakar, seperti : SMART (1988) dari Cross dan Lynch, Performance Measure Matrix (Keagen et.al, 1989), Balance Score Card (1992) dari Kaplan dan Norton, Integrated Dynamic PMS (1997) dari Ghalayani et.al., Integrated Performance Management System (1997) dari Bititchi et.al., Performance Prism (1999) dari Neely dan Adams dan masih banyak model lainnya.

b.      Merancang Sistem Manajemen Kinerja
Meskipun terdapat banyak model pengukuran yang diperkenalkan hingga saat ini termasuk yang sering kita dengar adalah seri ISO, Wibisono[37] berpendapat bahwa sebaiknya sebuah organisasi memiliki sistem pengukuran sendiri. Menurutnya model-model tersebut menawarkan terlalu banyak ukuran dan masing-masing berdiri sendiri sehingga tidak memandang kinerja secara komprehensif. Objek pengukuran sebaiknya ditetapkan berdasarkan ukuran kunci yang harus dipertanggungjawabkan oleh manajer berdasarkan levelnya dan kontekstual terhadap kebutuhan perusahaan. Diharapkan setiap organisasi bisa memanfaatkan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh kerangka-kerangka kerja dari model-model tersebut sehingga tidak terjadi fanatisme atau sekedar mengadopsi tanpa melihat kebutuhan riil dan kondisi usaha serta lingkungan persaingan usaha yang dihadapi saat ini. 
Vanany[38] dalam bukunya menyatakan bahwa sebagian besar orang masih menganggap bahwa ilmu pengukuran kinerja hanyalah sekedar aktivitas mengukur kinerja sebuah departemen atau organisasi, padahal sejatinya, aktivitas mengukur kinerja hanyalah satu tahap yang harus dilakukan setelah kita berhasil merampungkan rancangan sistem pengukuran kinerja. Tahap rancangan dari sistem pengukuran kinerja merupakan tahap yang menentukan baik buruknya pengukuran kinerja. Proses pengukuran kinerja bersifat kontinu dalam siklus yang tidak putus-putus dengan paradigma continuous improvement, sehingga dalam hal ini Vanany menyebutkan bahwa terdapat lima tahapan dalam mengukur kinerja, yaitu: mendesain, mengukur, mengevaluasi, mengevaluasi hasil pengukuran, merencanakan action plan dan terakhir mengevaluasi kembali. Jika kita merujuk pada pendapat Owen et.al sebelumnya, dapat dipahami bahwa pengukuran ini juga sangat berkaitan dengan visi, misi, nilai dan strategi yang telah ditetapkan perusahaan.
Dermawan dalam bukunya membuat sebuah konsep mengenai tahapan dalam perancangan sistem manajemen kinerja yang terdiri dari lima langkah[39], Tahapan-tahapan di atas digambarkan Dermawan secara singkat dalam gambar 4, sedangkan keterangan lebih detail mengenai setiap tahapan dapat dibaca dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Kinerja: Konsep Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan”. Berikut penjelasan singkat bagaiamana kelima tahapan menurut Dermawan:[40]

      Gambar 4:
Tahap Perancangan Sistem Manajemen Kinerja
Sumber: Dermawan Wibisono, Manajemen Kinerja: Konsep Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 25

1.      Tahap 0: Fondasi à pemahaman atas pedoman prinsip yang harus dijadikan fondasi bagi rancangan sistem manajemen kinerja.
2.      Tahap 1: Informasi dasar à informasi dasar yang diperlukan sebagai masukan bagi perancangan sistem manajemen kinerja pada dasarnya menyangkut lingkungan usaha yang saat ini sedang digeluti, yang terdiri dari informasi tentang industri, pemerintah dan masyarakat, pasar dan pesaing, serta produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan.
3.      Tahap 2: Perancangan à merupakan langkah perancangan sistem manajemen kinerja yang terdiri dari penentuan visi, misi, strategi dan kerangka kerja yang digunakan dalam sebagai dasar penentuan variabel kinerja, keterkaitan antar variabel dan kaji banding (benchmarking).
4.      Tahap 3: Penerapan à merupakan tahap penerapan rancangan yang meliputi display yang akan didukung, laporan yang akan dirancang, sosialisasi sistem manajemen kinerja kepada seluruh karyawan, analisi manfaat/biaya bagi penerapan sistem manajemen kinerja, modifikasi proses jika diperlukan, pelatihan yang harus disertakan, sumberdaya yang akan terlibat dalam penerapan, dan kedudukan sistem manajemen kinerja saat ini terhadap sistem manajemen kinerja yang baru. Pada saat penerapan harus diuji apakah sistem tersebut telah mengakomodasi empat hal utama, yaitu pengukuran, evaluasi, diagnosis dan tindak lanjut yang diperlukan jika kinerja perusahaan/organisasi menyimpan dari strandar yang telah ditetapkan.
5.      Tahap 4: Penyegaran à merupakan langkah evaluasi terhadap kemutakhiran sistem manajemen kinerja yang dirancang dengan mempertimbangkan informasi dan perkembangan pengetahuan terkini.

Tahapan-tahapan di atas bisa dijadikan rujukan bagi organisasi jika ingin membuat sebuah perancangan manajemen kinerja yang sesuai dengan kondisi organisasi. Perancangan ini penting dilakukan sendiri oleh organisasi agar indikator-indikator yang dijadikan kunci dalam pengukuran bisa sesuai dengan kondisi, sehingga metode pengukuran yang diterapkan benar-benar bisa mengukur kesuksesan atau kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan.

4.      Penerapan Pengukuran Kinerja Organisasi Di Lembaga Pendidikan ( studi pada Perguruan Tinggi)
a.      Memahami Perguruan Tinggi Sebagai Sebuah Organisasi yang Kompleks
Sebagaimana diketahui perguruan tinggi merupakan sebuah organisasi yang tujuannya menciptakan dan mentransmisikan pengetahuan. Wang[41] berpendapat bahwa perguruan tinggi memiliki karakteristik yaitu tujuan yang berbeda dan ambigu. Tujuan ini juga seringkali terkesan rumit dan sangat luas, misanya berkontribusi pada perkembangan regional, dampak sosial, penelitian kelas dunia dll. Disisi lain perguruan tinggi bukanlah bertujuan mencari laba layaknya organisasi lain disektor bisnis, sehingga mungkin tidak ada dalam prioritas perguruan tinggi untuk melakukan kegiatan-kegiatan agresif selayaknya dalam bisnis seperti pencarian tenaga kerja secara agresif, pengurangan dalam rangka memperoleh laba.
Perguruan tinggi dapat dikenal berdasarkan fungsinya. Seluruh kinerja akan bisa dikombinasikan dimensi-dimensinya dari fungsi tersebut. Pengukuran efektivitas dan efisiensi kinerja akan didasarkan pada pengukuran kinerja fungsi-sungsi yang ada dalam perguruan tinggi. Misalnya ketika berbicara mengenai efektivitas dan efisiensi aktivitas pendidikan, kinerja kampus bisa diukur dari jumlah waktu rata-rata lulusan dalam menyelesaikan studi. Ketika bicara efektivitas dan efisiensi dalam riset atau penelitian, kinerja universitas dapat dihitung menggunakan jumlah publikasi dan jumlah kutipan.[42]
Untuk memahami lebih detail mengenai kinerja perguruan tinggi, akan sangat mudah jika gunakan kerangka input-proses-output-outcome sebagaimana gambar 5 berikut ini:

Gambar 5:
Kinerja organisasi
 
Sumber: Xiaocheng Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 19

Proses di atas mengindikasikan bahwa terdapat empat aspek yang bisa diukur dalam aktivitas sebuah perguruan tinggi yaitu input, process, output dan outcome. Input berupa menghitung sumberdaya yang masuk, misalnya mahasiswa, infrastruktur, dosen, dll; process mengukur bagaimana universitas menggunakan sumberdaya dalam proses pendidikan, misalnya program-program pembelajaran, output akan mengukur apa yang didapatkan dari hasil aktivitas penambahan nilai dalam proses pembelajaran tersebut, dan outcome akan mengukur pengaruh hasil pembelajaran tersebut secara lebih luas.
Dalam mentransformasi input menjadi output, ada dua fungsi penting yang harus ada dalam proses, yaitu kegiatan pembelajaran dan kegiatan pengelolaan atau bisa diistilahkan dengan kata lain fungsi akademis dan fungsi manajemen. Memahami dua fungsi ini dalam proses sebagaimana gambar di atas sangat penting, karena pemahaman tersebut akan sangat membantu dalam membuat indikator-indikator kinerja. Misalnya kegiatan proses, sangat sedikit orang yang tahu bagimana proses itu dilaksanakanan guna menghasilkan output berupa sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang diinginkan. Dalam hal ini pembuat kebijakan harus tahu agar indikator yang dibuat bisa melakukan kontrol terhadap kualitas pelayanan dalam kegiatan pendidikan dan utamanya apa yang terjadi dalam kegiatan proses tersebut.
Untuk memperoleh gambaran secara lengkap mengenai kinerja universitas, diperlukan sebuah upaya mengembangkan dimensi-dimensi yang terkait dengan fungsi-fungsi universitas. Akan sangat membantu jika digunakan pembedaan antara fungsi akademis dan fungsi manajemen. Kegiatan-kegiatan dalam fungsi akademis dan fungsi manajemen ini akan berkaitan dengan praktik-praktik didalamnya sehingga bisa menggambarkan unsur-unsur secara lebih lengkap terkait kinerja organisasi. kinerja akademis merupakan kinerja kunci dalam perguruan tinggi, sedangkan kinerja manajemen merupakan pendukung dalam melayani dan meningkatkan kinerja akademis. Selanjutnya dua dimensi tersebut bisa dibagi lagi dalam sub-sub dimensi yang lebih mengerucut. Misalnya dalam kinerja akademis biasanya terdiri dari dua aktivitas yaitu penelitian dan pembelajaran. Dalam kinerja manajemen juga memiliki dua komponen penting sumberdaya manusia dan sumberdaya keuangan. Sumberdaya keuangan harus juga ditentukan kinerjanya agar bisa mempertahankan kampus dalam jangka panjang, misalnya masalah investasi dalam infrastruktur, penelitian-penelitian dan lain sebagainya. sedangkan sumberdaya manusia terdiri dari staf-staf termasuk juga staf pengajar.
Dalam membangun kerangka kerja, bisa berpatokan pada model yang telah diperkenalkan para ahli. sebagaimana yang disampaikan Dermawan sebelumnya bahwa pada tahap perancangan, memerlukan adanya benchmarking, yaitu melihat model lain yang bisa dijadikan patokan apakah mengunakan BSC, PRISM atau yang lainnya. Dalam hal ini kita akan menggunakan contoh menggunakan Pyramida Cross dan Lynch (1992), yang dikutip oleh Wang[43] dan Neely et.al[44] , bisa dilihat pada gambar 6. Untuk selanjutnya akan dibahas poin penting dalam pengukuran kinerja yaitu indikator kinerja.
Gambar 6:
Penerapan model piramida Cross dan Lynch (1992) untuk mengukur kinerja perguruan tinggi


Penerapan Model Cross dan Lynch di Perguruan Tinggi
Model Cross dan Lynch
         


Sumber : diadaptasi dari Model Cross dan Lynch (1992) dalam Xiaocheng Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 21

b.      Performance Indicator (Indikator Kinerja) Perguruan Tinggi
Akdon[45] mendefiniskan indikator kinerja sebagai ukuran kuantitatif maupun kualitatif untuk dapat menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan organisasi. Selain itu indikator kinerja juga digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tercapainya sasaran maupun tujuan organisasi. Indikator kinerja biasanya berupa pernyataan-pernyataan yang dapat mengukur sumberdaya serta hasil terkait tujuan organisasi. Indikator ini harus memiliki relevansi dengan tujuan organisasi. Karena fokus kita pada perguruan tinggi, maka berdasarkan bagan sebelumnya pengembangan dan pemilihan indikator kinerja akan didasarkan pada dimensi akademis dan dimensi manajemen.
Akdon menyebutkan bahwa terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu indikator kinerja, yaitu[46]:
1.      Spesifik dan jelas untuk menghindari kesalahan interpretasi
2.      Dapat diukur secara obektif baik secara kualitatif maupun kuatitatif
3.      Menangan aspek-aspek yang relevan
4.      Harus penting/berguna untuk menunjukkan keberhasilan input,output, outcome, manfaat, dampak serta proses
5.      Fleksibel dan sensitif terhadap perubahan pelasanaan.
6.      Efektif dalam arti datanya mudah diperoleh, diolah dan dianalisis dengan biaya yang tersedia.

Berdasarkan fungsinya, kinerja akademis merupakan indikator utama perguruan tinggi dalam pengukuran kinerja kampus. Akademis menjadi ikon dalam melihat apakah sebuah universitas bagus dan tidak. Untuk membuat indikator pengukuran kinerja, maka dibutukan untuk memahami tujuan serta misi organsiasi. Untuk mengetahui mengukur apakah universitas memiliki kinerja penelitian dan pengajaran yang bagus, Wang[47] merumuskan beberapa kriteria sebagaimana yang tertera dalam tabel 1, antara lain:
Tabel 1:
Kriteria-kriteria umum kinerja organisasi dari fungsi akademis
Sub Dimensi Penelitian
Sub Dimensi Pendidikan/pengajaran
1.      Personel penelitian yang bagus
2.      Jumlah pembiayaan pada kegiatan penelitian setiap tahunnya
3.      Jumlah lulusan doktor
4.      Jumlah dana penelitian yang dihibahkan oleh pemerintah atau pihak ketiga
5.      Keunggulan dalam output riset dan outcome riset
1.      Banyaknya jumlah program yang ditawarkan
2.      Staf akademis yang unggul/bagus
3.      Keanekaragaman siswa yang masuk dari segi kawasan, budaya, dan agama
4.      Jumlah lulusan yang mendapatkan pekerjaan
5.      tingginya jumlah lulusan
Sumber: Xiaocheng Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 23-24

Selain dimensi akademis, dimensi selanjutnya adalah dimensi manajemen, sesuai dengan yang tertera pada gambar 6, diketahui ada dua sub dimensi yaitu sumberdaya manusia (Human Resources) dan Finansial. Sebagaimana diketahui tujuan dari perguruan tinggi adalah menghasilkan orang-orang pintar, dalam hal ini tentunya staf akademis (dosen) memiliki peranan yang besar dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Hal-hal yang penting dalam memiliki personel yang unggul bisa dilihat dari beberapa sisi antara lain, jumlah Doktor dan profesor, serta jumlah dosen dan staf pendukung lainnya. Untuk mempertahankan sumberdaya yang handal diperlukan investasi perguruan tinggi dalam pelatihan, pengambangan serta rekrutmen yang bagus dalam rangka mencetak personel yang memiliki kompetensi.
Sumberdaya finansial dalam perguruan tinggi menggambarkan kemampuan organisasi dalam pengelolaan keuangan lembaga, pengoperasian lembaga, pengambilan keputusan yang tepat terkait dengan output yang  dihasilkan. kemampuan finansial akan tergambar dalam apa yang didapatkan organisasi terkait sumberdaya yang dimiliki, sehingga kemampuan pengelolaan finansial ini akan menjadi poin krusial dalam merealisasikan tujuan organisasi. Dengan demikian kinerja finansial dalam perguruan tinggi akan dapat diukur dengan melihat apakah lembaga memiliki keuangan yang sehat, sehingga kriterianya dapat dilihat pada bagaimana perguruan tinggi menggunakan sumberdaya keuangannya untuk melayani tujuan akademis.
Berdasarkan gambar 6 yang ditunjukkan sebelumnya, maka berikut ini akan ditunjukkan salah satu contoh[48] yang tertera sebagaimana di tabel 2 mengenai pembuatan indikator kinerja yaitu dalam dimensi akademis, dalam sub dimensi penelitian. Contoh ini diadaptasi dari penelitian yang dilakukan Wang[49].
Tabel tersebut hanya salah satu contoh dari sub-dimensi dari dimensi akademis, masih ada tiga sub dimensi lainnya yang tidak bisa dicontohkan satu persatu dalam makalah ini yaitu terkait indikator kinerja pengajaran atau pendidikan, indikator sumber daya manusia dan indikator finansial. Makalah ini hanya memberikan contoh gambaran singkat terkait bagaimana cara menerapkan pengukuran kinerja di lembaga pendidikan, untuk yang lainnya bisa dikembangkan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Bagi manajer pendidikan Islam, sangat penting untuk memahami bagaimana membuat perancangan manajemen kinerja organisasi, agar pengukuran yang mereka lakukan tidak terkesan ikut-ikutan trend sehingga pengukuran menjadi bias dan tidak berujung pada stabilitas lembaga secara berkesinambungan. Pemahaman ini akan mengarahkan pada pentingnya penggunaan model pengukuran yang tepat agar alat pengukuran yang digunakan benar-benar bisa mengukur apa yang ingin diukur, sehingga dapat diketahui bagaimana kondisi kinerja lembaga pendidikan saat ini. Pengukuran ini akan menjadi dasar bagi lembaga pendidikan Islam untuk terus meningkatkan kinerjanya, memperbaiki yang kurang dan mempertahankan yang telah baik, serta meningkatkan ke arah yang lebih baik lagi.
Tabel 2:
Indikator kinerja “sub dimensi penelitan”
Area kinerja
indikator
Alternatif pengukuran
Keterangan
Input
Peneliti dari universitas
Jumlah penelitan yang dilakukan staf akademis
Lembaga harus menyediakan pendekatan yang valid dalam mengukur keterlibatan staf dalam penelitian. Pimpinan harus dapat mengetahui berapa jumlah peneliti atau berapa banyak staf yang telah mengadakan penelitian.
Jumlah penelitian dari pihak sponsor
Jumlah peneliti yang dibiayai oleh beasiswa pihak luar kampus
Semakin banyak jumlah peneliti yang dibiayai oleh pihak lain akan semakin menunjukkan bahwa kampus memiliki pengaruh yang signifikan terhadap lingkungannya dan memiliki jaringan yang bagus dengan pihak lain.
Jumlah aplikasi penelitian yang diterima pihak luar
Jumlah proposal penelitian yang sukses di tingkat nasional maupun internasional
Indikator ini akan mengarah pada kekuatan sumberdaya terkait kualitas proposal. Hal ini akan menunjukkan kebutuhan akan dukungan dan pelatihan untuk mendaftar program-program penelitian yang ditawarkan pihak lain.
Jumlah partner yang strategis
Jumlah perjanjian formal yang dilakukan lembaga dalam penelitian
Indikator akan menghitung jumlah perjanjian yang telah dilakukan lembaga. Semakin banyak jumlah kontrak perjanjian akan menunjukkan semakin strategis partnership dengan pihak lain, sehingga memungkinkan adanya keanekaragaman sponsorship
output
Jumlah publikasi yang dilakukan unit penelitian
Jumlah jurnal, artikel, buku dan hal kerja lainnya
Indikator harus menunjukkan nilai pengukuran yang berbeda untuk masing-masing hasil, apakah jurnal, artikel, buku, proceeding dan sebagainya
Jumlah anugah gelar doktor
Rata-rata jumlah penganugerahan gelar doktor pertahun
Indikator sangat penting dalam upaya membandingkan kinerja universitas dibandingkan dengan kampus lain
Jumlah enterpreneur yang sukses
Rata-rata pertumbuhan enterpreneur yang sukses
Indikator jumlah siswa dan staf yang menjadi pengusaha memang sulit dideteksi, tetapi ini sangat urgen untuk melihat output yang dihasilkan kampus
outcome
Pengutipan
Pengutipan
Pengutipan merupakan indikator yang bisa digunakan dalam mengukur outcome. Butuh penghitungan yang tepat karena untuk bisa dikutip membutuhkan waktu yang lama.
Keanggotaan penelitian atau editor jurnal
Jumlah anggota dewan kampus yang menjadi anggota badan penelitian atau editor jurnal
Indikator akan menyediakan pimpinan gambaran lengkap terkait reputasi lembaga.
Sumber: diadaptasi dari Xiaocheng Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 31-33

Islam sendiri sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa kinerja harus dinilai. Ayat yang bisa menjadi rujukan penilaian kinerja itu adalah surat at-Taubah ayat 105.
È@è%ur (#qè=yJôã$# uŽz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( šcrŠuŽäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
Dan Katakanlah: "Beramallah kalian, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amal perbuatan kalian itu. Kelak kalian akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan yang nyata. Dia menerangkan kepada kalian amal perbuatan yang telah kalian kerjakan. [50]
Kinerja kita akan menentukan seperti apa usaha kita kelak. Apakah akan sukses atau justru sebaliknya. Untuk mencapai kesuksesan diperlukan sebuah upaya berkesinambungan dimana kita selalu melakukan evaluasi dengan penilaian-penilaian yang telah ditetapkan sebelumnya, agar kita selalu tahu sampai dimana saat ini kondisi kita jika dihadapkan pada tujuan yang hendak kita capai. Jika dari hasil penilaian kita masih jauh dari tujuan, maka diperlukan strategi untuk meningkatkan kinerja guna mencapai tujuan tersebut.

C.    KESIMPULAN
1.      Produktivitas memiliki pengertian tunggal yaitu rasio antara output/input, dengan lima kemungkinan yang menyertainya. Sedangkan Performance atau kinerja organisasi adalah tingkat kemampuan organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan tingkat kemampuan organisasi dalam upaya menjaga keberlangsungan organisasi melalui sumberdaya yang bernilai, dimana untuk mencapai kinerja yang tinggi pemimpin harus dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong dan menghambat kinerja organisasi.
2.      Kinerja memiliki makna yang lebih luas, yang didalamnya termasuk produktivitas dan profitabilitas, dengan demikian produktvitas menjadi salah satu bagian dari pengukuran kinerja organisasi.
3.      Konsep pengukuran kinerja merupakan konsep yang berkelanjutan dan memiliki tahapan, yaitu pondasi, informasi dasar, perancangan, penerapan dan penyegaran, yang dalam penerapan pembuatan rancangan manajemen kinerja, harus didasarkan pada kondisi riil organisasi.
4.      Penerapan pengukuran kinerja organisasi di lembaga pendidikan, harus melalui benchmarking model yang tepat sehingga selanjutnya dapat disusun indikator-indikator yang tepat pula, karena lembaga pendidikan memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga umum atau lembaga bisnis lainnya.
DAFTAR RUJUKAN

Abu-Jarad, Ismael Younis ; Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin. 2010.  A Review Paper on Organizational Culture and Organizational Performance,  International Journal of Business and Social Science, 1 (3) pp: 26-46)
Akdon. 2009.  Strategic Management for Educational Management (Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan). Bandung:Alfabeta.
Chien,M.H. 2004. A Study to Improve Organizational Performance. A View from SHRM. Journal of American Academy of Busines,Vol.4,1/2;p289.
Daryanto. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.
Ghobadian, Abby and Tom Husband, Tom. 1990.  “Measuring total productivity using production functions”. International Journal of Production Research.  Vol. 28 No. 8, pp. 1435-46.
Gie, The Liang. 2003. Efisiensi untuk meraih sukses. Yogyakarta: Panduan
Hansen,G.S.,&Wernerfelt.1989. Determinants of Firm Performance: Relative-Importance of Economic and Organizational Factors. Strategic Management Journal,10(5).p399-411.
Hassan, A. 2010. Alfurqan Tafsir Qur’an. (Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia)
Kaplan, R.S. and Norton,D.P. 1992.  “The Balanced Scorecard: measures that driveperformance”, Harvard Business Review,Vol.70 No.1,pp.71-9.
Misterek, S., Dooley, K. and Anderson, J.1992.  “Productivity as a performance measure”,  International Journal of Operations & Production Management, Vol. 12 No. 1, pp. 29-45.
Nasution,  M.N. 2001. Manajamen Mutu Terpadu (Total Quality Manajemen). Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia
Neely, Andy; Bourne, Mike; and  Kennerley, Mike. 2000.  Performance measurement system design: developing and testingaprocess-basedapproach, International (Journal of Operations & Production Management. Vol. 20 No. 10, pp. 1119-1145
Owen, Keith; Mundy, Ron; Guild, Will; and Guild, Robert. 2001. Creating and sustaining the high performance organization. Managing Service Quality. 11 (1), pp. 10-21
Ross, J.E. 1994. Principel of Total Quality. Delray Beach: St. Lucie Press
Rutkauskas, Jonas and Paulaviciene, Eimene. 2005. Concept of Productivity in Service Sector. Engineering Economics, 3 (43), pp. 29-34.
Sinungan, Muchdarsyah. 2003.  Produktivitas Apa dan Bagaimana, Jakarta: Bumi Aksara
Tangen,  Stefan . 2005.  Demystifying productivity and performance. International Journal of Productivity and Performance Management,   54 (1), pp. 34-46.
Vanany, Iwan. 2009. Performance Measurement: Model dan Aplikasi. Surabaya: ITS Press.
Wade, David & Recardo, Ronald.  2001. Corporate Performance Management: How to Build A Better Organization Through Measurement-Driven Strategic Alignment. Boston ; Oxford : Butterworth-Heinemann.
Wang, Xiaocheng. 2010.  Performance Measurement In Universities. Enschede, The Netherlands: University of Twente.
Wibisono, Dermawan. 2006. Manajemen Kinerja: Konsep Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta: Penerbit Erlangga.




[1] Stefan Tangen, Demystifying productivity and performance, (International Journal of Productivity and Performance Management, 2005),  54 (1), pp. 34-46, hlm. 34
[2] Jonas Rutkauskas and Eimene Paulaviciene, Concept of Productivity in Service Sector, (Engineering Economics, 2005) ISSN 1392-2785. No 3 (43), pp. 29-34, hlm. 30
[3] M.N. Nasution, Manajamen Mutu Terpadu (Total Quality Manajemen), (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2001), hlm. 203
[4] Misterek, S., Dooley, K. and Anderson, J. “Productivity as a performance measure”, (International Journal of Operations & Production Management, 1992), Vol. 12 No. 1, pp. 29-45.
[5] Jonas Rutkauskas and Eimene Paulaviciene, Concept of Productivity...., hlm. 30
[6] Stefan Tangen, Demystifying ..., hlm. 37
[7] J.E. Ross, Principel of Total Quality, (Delray Beach: St. Lucie Press, 1994), hlm 191
[8] Muchdarsyah Sinungan, Produktivitas Apa dan Bagaimana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 17
[9] Jonas Rutkauskas and Eimene Paulaviciene, Concept of ....,  hlm. 30
[10] The liang Gie, Efisiensi Untuk Meraih Sukses, (Yogyakarta: Panduan, 2003), hlm. 42
[11] Stefan Tangen, Demystifying..., hlm 38
[12] Abby Ghobadian and Tom Husband, “Measuring total productivity using production functions”, (International Journal of Production Research,1990) Vol. 28 No. 8, pp. 1435-46, hlm. 1435
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Stefan Tangen, Demystifying..., hlm 38
[16] Ismael Younis Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review Paper on Organizational Culture and Organizational Performance, (International Journal of Business and Social Science, 2010), 1 (3: 26-46), hlm. 28
[17] Stefan Tangen, Demystifying..., hlm 40-41
[18] Xiaocheng Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The Netherlands: University of Twente, 2010), hlm. 14
[19] Ibid
[20] Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, ( Surabaya: Apollo, 1997), hlm. 368
[21] Ismael Younis Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review Paper..., hlm. 32
[22] Ibid., hlm. 29
[23] Keith Owen, Ron Mundy, Will Guild and Robert Guild, Creating and sustaining the high performance organization, (Managing Service Quality, 2001), 11 (1), pp. 10-21, hlm. 10
[24] Ibid., hlm. 11
[25] David Wade & Ronald Recardo, Corporate Performance Management: How to Build A Better Organization Through Measurement-Driven Strategic Alignment, (Boston ; Oxford : Butterworth-Heinemann, 2001.), hlm. 6-7
[26] Stefan Tangen, Demystifying..., hlm 43
[27] Ibid
[28] Ismael Younis Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review Paper..., hlm. 32
[29] Dermawan Wibisono, Manajemen Kinerja: Konsep Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 3
[30] Ismael Younis Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review Paper..., hlm. 30
[31]Dermawan Wibisono, Manajemen Kinerja...,   hlm. 3-4
[32] Ismael Younis Abu-Jarad, Nor’Aini Yusof dan Davoud Nikbin, A Review..., hlm. 32
[33] Kaplan, R.S. and Norton,D.P.(1992), “The Balanced Scorecard: measures that driveperformance”, Harvard Business Review,Vol.70 No.1,pp.71-9.
[34] Iwan Vanany, Performance Measurement: Model dan Aplikasi, (Surabaya: ITS Press, 2009), hlm. 15
[35] Ibid., hlm. 19
[36] Ibid., hlm. 23
[37] Dermawan Wibisono, Manajemen Kinerja..., hlm. 14
[38] Iwan Vanany, Performance Measurement:..., hlm. 1-2
[39] Dermawan Wibisono, Manajemen Kinerja..., hlm. 26
[40] Dermawan Wibisono, Manajemen Kinerja..., hlm. 26
[41] Xiaocheng Wang, Performance..., hlm. 18
[42] Ibid
[43] Xiaocheng Wang, Performance..., hlm. 21
[44] Andy Neely, Mike Bourne, Mike Kennerley, Performance measurement system design: developing and testingaprocess-basedapproach, International (Journal of Operations & Production Management, Vol. 20 No. 10, 2000, pp. 1119-1145), hlm. 1126
[45] Akdon, Strategic Management for Educational Management (Manajemen Strategik untuk Manajemen Pendidikan), (Bandung:Alfabeta, 2009), hlm. 167
[46] Ibid., hlm. 167-168
[47] Xiaocheng Wang, Performance..., hlm. 23-24
[48] Dalam pembahasan indikator kinerja Perguruan Tinggi ini, Penulis hanya memberikan satu contoh yaitu hanya pada dimensi akademik dengan sub dimensi bidang penelitian, untuk selanjutnya bisa dikembangkan sendiri oleh pembaca atau pihak lain yang berkepentingan.
[49] Xiaocheng Wang, Performance Measurement In Universities, (Enschede, The Netherlands: University of Twente, 2010)
[50] A. Hassan,  Alfurqan Tafsir Qur’an. (Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia, 2010), hlm. 325

1 komentar:

  1. If you're trying hard to lose kilograms then you need to start using this totally brand new custom keto plan.

    To produce this keto diet, licensed nutritionists, fitness couches, and top chefs united to produce keto meal plans that are effective, suitable, cost-efficient, and delicious.

    Since their grand opening in January 2019, 1000's of people have already remodeled their figure and health with the benefits a certified keto plan can provide.

    Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover eight scientifically-confirmed ones offered by the keto plan.

    BalasHapus